Romantisme Dalam Syair dari Klasik hingga Modern

ROMANTISME DALAM SYAIR
Dari Klasik Hingga Modern

Pengertian
Awal mula aliran ini muncul di Eropa pada abad ke- 18 dan masuk ke dunia Arab pada permulaan abad 20. yang dipelopori oleh Kholil muthran (1873-1949) sebagai reaksi terhadap aliran sastra neo-klasik yang digawangi oleh Al-Barudi (Manshur 1977 : 180 ) Berbeda dengan aliran neo-klasik yang bercirikan rasionalisme dan realisme serta keterikatan pada prosodi gaya lama, aliran ini cenderung lebih  menekankan pada emosi dan imajinasi yang kuat dengan mengesampingkan akal dan realitas sebagai batasannya.[1]
Romantisme adalah aliran yang mendasarkan ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudan. Untuk mengungkapkan hal tersebut, sastrawan selalu berusaha menggambarkan realitas kehidupan dalam bentuk yang seindah-indahnya dan sehalus-halusnya, sehingga terlihat tanpa celah. Tujuan utama aliran ini adalah agar pembaca mampu tersentuh dan terbuai emosinya, sehingga setiap gejolak yang ada atau konflik yang ditonjolkan, biasanya disusun secara dramatis dan setuntas-tuntasnya.
Dalam hal ini, aliran romantik memang menomorsatukan rasa atau jiwa yang dalam dan menomorduakan rasio. Aliran ini pun menyerukan untuk mementingkan kebebasan dalam berkarya dan puisi bersayap rasa yang didalamnya ada mimpi dan imajinasi, baik keindahan maupun kesedihan.
Sebagian besar aliran ini tidak lagi terikat oleh prosodi gaya lama, dan golongan ini terbagi dua; yaitu mereka yang hanya tidak terikat pada qafiyah sebagaimana yang telah dilakukan Abu al-‘Atahiyah pada masa ‘Abbasiyah. Dalam hal ini mereka juga dipengaruhi oleh William Shakespeare, seorang sastrawan romantik Inggris terkenal. Pada karya sastra mereka yang dikenal dengan sebutan “puisi lepas” (al-Syi’ru Al-Mursal) antara qafiyah yang satu dengan yang lainnya berbeda. Sedang golongan kedua, seperti Kahlil Jibran, sama sekali tidak menerima ‘arud, baik wazan/bahr atau qafiyah. Mereka banyak menghasilkan “puisi bebas” (al-Syi’r al-Hur), yaitu puisi yang tidak terikat oleh ikatan-ikatan lama (klasik), yang secara bentuk terkadang bergaya prosa (prosa liris).
Dalam sastra Arab, meskipun aliran ini lahir pada periode modern, tetapi secara praktik telah lahir sejak masa Arab klasik. Umru al-Qais adalah penyair aliran romantis masa Jahiliyah yang cukup menonjol. Dalam sebagian syairnya, ia pernah melukiskan gulita malam seperti badai laut tengah karena keresahan yang sedang menimpahnya. Ia juga melukiskan kecantikan dada wanita pujaannya, Unaizah, bagaikan kaca tanpa cacat dan juga keindahan rambutnya yang terurai bagaikan mayang kurma.[2]
Di Indonesia, aliran ini tumbuh subur sejak zaman Balai Pustaka, Pujangga Baru, hingga Angkatan 45. Pertanyaanya, apakah setelah zaman Balai Pustaka hingga Angkatan 1945 Menariknya, sampai sekarang aliran romantik tetap mendominasi dunia kreatif perpuisian di Indonesia. Kalau kita cermati lebih seksama, maka aliran romantiklah yang menjadi “idola” banyak penyair generasi baru. Tentu saja, bukan sekadar romantisisme yang diungkapkan para penyair dalam karya-karyanya, tetapi romantisisme yang digarap berdasarkan pencerapan indrawi yang bersumber dari realitas sosial.[3]

Tokoh-Tokoh & Karya
Hamami adaby dengan Puisinya yang berjudul “Dijari Manismu Ada Rindu”[4]
Ibnu Zaidun (394-463 H) dalam salah satu syairnya yang melimpahkan emosi kerinduannya pada Wiladah ia menulis:
إنى ذكرتك بالزهراء مشتاقا * والأفق طلق ووجه الأرض قد راقا
Aku merindukanmu di saat bunga-bunga mekar * Di saat ufuk terang dan wajah bumi memikat”[5]
Abdurrahman Syukri dengan antopologi puisinya (dhau’ al-fajr) pada 1909.[6]
Alphonse de Lamartine(1790 – 1869) dengan puisinya yang berjudul “Méditations poétiqus”[7]
Alfred de Musset (1810-1857) dengan puisinya yang berjudul “Les Lettres d’amour a george sand”[8]
Khali Mutran dengan syairnya “Senja” dan “Al-Masa”[9]
Al-Aqqad dengan beberapa puisinya “Khalasatul yaumiyyah”, 1912. “Sudzuur”, 1913. “El-Insaan Ats-Sani”, 1913. “Yaqdzatus Sabah”, 1916.[10]
Ibrahim Naji (1898) dengan syairnya “al-Layaly al-Qahiroh”[11]
Kahlil Gibran dengan beberapa karya Puisinya “Nyanyian Sukma” “Cinta yang Agung” “Aku bicara perihal cinta”[12]
Elia Abu Madhi (1889) dengan puisinya “Lastu Adri (aku tidak tahu)”[13]




[1] http://mahfuzmian.blogspot.co.id/2014/10/sastra-klasik-dan-modern.html.
[2] Kamil Sukron, Teori Kritik Sastra Arab Klasik & Modern, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hal 165.
[3] http://www.wartadidaktika.com/2014/06/puisi-definisi-dan-aliran.html.
[4] http://sinaubsi.blogspot.co.id/p/kritik-sastra-pendekatan-ekaspresif.html
[5] Kamil Sukron, Teori Kritik Sastra Arab Klasik & Modern, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hal 167.
[6] http://mahfuzmian.blogspot.co.id/2014/10/sastra-klasik-dan-modern.html.
[7] http://www.kompasiana.com/embahnyutz1/world-writers-54-alphonse-de-lamartine_5500beb1a333111d72511bbf.
[8] http://lib.unnes.ac.id/21058/.
[9] http://ukonpurkonudin.blogspot.co.id/2011/08/terjemahan-puisi-senja-karya-khalil.html.
[10] https://abdillahmandar.wordpress.com/profil-tokoh/abbas-mahmud-aqqad/.
[11] https://www.facebook.com/notes/usman-arrumy/malam-di-kairo-ada-reruntuhan-ibrahim-naji/10152770409601777/.
[12] http://www.gen22.net/2010/03/puisi-khalil-gibran-puisi-cinta-khalil.html.
[13] http://sidrotullailiy.blogspot.co.id/2015/05/eliya-abu-madhi.html.
Romantisme Dalam Syair dari Klasik hingga Modern Romantisme Dalam Syair dari Klasik hingga Modern Reviewed by Unknown on Selasa, November 08, 2016 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada

Diberdayakan oleh Blogger.