Fonologi
1.
Latar Belakang Masalah
Dalam
kehidupan sosialnya, manusia saling berhubungan antara satu sama lain. Dalam
hal ini perlu adanya sebuah komunikasi. Kebutuhan berkomunikasi itupun semakin
kompleks seiring dengan perkembangan zaman dan kebudayaan manusia. Sehingga
keadaan tersebut menempatkan bahasa sebagai alat komunikasi manusia pada
posisi yang paling penting.
Agar
komunikasi tersebut berjalan dengan baik, kedua belah pihak memerlukan bahasa
yang dapat dipahami bersama. Wujud bahasa yang utama adalah bunyi. Salah satu
kajian teori yang membahas tentang bunyi ini adalah fonologi. Oleh karena itu
makalah ini sengaja ditulis demi memberikan pemahaman tentang fonologi beserta
cakupan-cakupannya. Semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu pembaca
dalam memahami fonologi.
2.
Rumusan Masalah
a.
Apa yang dimaksud dengan
fonologi ?
b.
Apa saja yang tercakup dalam
fonologi ?
c.
Apa yang dimaksud dengan
fonetik dan fonemik ?
d.
Apa saja yang tercakup dalam
fonetik ?
e.
Bagaimana mengidentifikasi
fonem ?
f.
Apa yang dimaksud fonotaktik
?
B.
Pembahasan
1.
Tataran
Linguistik Fonologi
a.
Batasan
dan Kajian Fonologi
Istilah
fonologi berasal dari kata yunani yaitu phone = bunyi ,logos =ilmu, secara
harfiah,fonologi adalah ilmu bunyi.fonologi merupakan bagian dari ilmu bahasa yang mengkaji bunyi.objek kajian
yang pertama bunyi bahasa (fon) yang di sebut tata bunyi (fonetik) dan yang
kedua mengkaji fonem yang di sebut tata fonem (fonemik).
Dengan
demikian dapat di simpulkan bahwa fonologi adalah cabang ilmu bahasa
(linguistik) yang mengkaji bunyi bunyi bahasa,proses terbentuknya dan
perubahannya.fonologi mengkaji bunyi bahasa secara umum dan fungsional.
b.
Pengetian
Mengenai Tata Bunyi
Kalau
kita mendengar orang berpidato atau bercakap-cakap, maka akan kita dengar
runtutan bunyi bahasa yang nerus menerus,kadang kadang terdengar suara menaik
dan menurun,terdengar hentian sejenak atau hentian agak lama,terdengar tekanan
keras atau lembut,terdengar pula suara pemanjang dan suara biasa. Runtunan
bunyi bahasa ini dapat di analisis atau di segmentasikan berdasarkan tingkatan
tingkatan kesatuannya yang di tandai dengan hentian atau jeda yang terdapat
dalam runtuna bunyi itu.
(1) [keduaorangitumeninggalkanruangsidangmeskipunrapatbelumselesai]
Pada
tahap pertama,runtunan bnyi itu dapt di segmentasikan berdasarkan adanya jedan
atau hentian yang paling besar menjadi (1a) dan (1b):
(1a) [keduaorangitumeninggalkanruangsidang]
(1b) [meskipunrapatbelumselesai]
Pada
tahap kedua, segmen (1a) dapat disegmetasikan menjadi (1a1) dan (1a2); dan
segmen (1b) dapat disegementasikanmenjadi (1b1) dan (1b2);
(1a1) [keduaorangitu]
(1a2) [meninggalkanruangsidang]
(1b1) [meskipun]
(1b2) [rapatbelumselesai]
Pada
tahap ke tiga, segmen (1a1) dapat di segmentasikan menjadi (1a11) dan (1a12);
segmen (1a2) dapat di segmentasikan menjadi (1a21) dan (1a22); segmen ((1b1)
dapat disegmentasikan menjadi (1b11) dan (1b12) segmen (1b2) dapat
disegmentasikan menjadi (1b21) dan (1b22);
(1a11) [keduaorang]
(1a12) [itu]
(1a21) [meninggalkan]
(1a22) [ruangsidang]
(1b11) [meski]
(1b12) [pun]
(1b21) [rapat]
(1b22) [belumselesai]
Pada
tahap berikutnya, segmen-segmen runtunan bunyi itu disegmentasikan lagi
sehingga kita samai pada kesatua-kesatuan runtunan bunyi yang disebut silabel
atau suku kata. Sebagai contoh,segmen (1a21) [meninggalkan] di silabelkan =
[me], [ning], [gal], dan [kan]. begitupun segmen (1b22) disilabelkan = [be], [lum], [se],
[le], dan [sai].
Silabel
merupakan satuan runtunan bunyi yang di tandai dengan satuan-satuan bunyi yang
paling nyaring, yang dapat disertai atau tidak oleh sebuah bunyi lain di
depannya, dibelakangnya, atau sekaligus didepan dan belakangnya.adanya puncak
knyaringan iniah yang menandai silabel itu.puncak kenyaringan itu biasaya di
tandai dengan sebuah bunyi vokal.sebagai contoh pada kesatuan runtunan bunyi [meninggalkan] terdapat 4 buah vokal yaitu [e, i, a, a], maka pada
satuan runtunan bunyi itu ada 4 buah silabel.
Bidang
linguistik yang mempelajari,menganalisis dan mebicarakan runtunan bunyi-bunyi
ini di sebut fonologi, yang secara etimolgi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi, dan logi yaitu ilmu.menurut hierarki satuan
bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi di bedakan menjadi fonetik dan
fonemik. Secara umum fonetik yang
mempelajari bunyi bahasa yang tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut
mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. sedangkan fonemik adalah yang mempelajari bunyi
bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna.untuk
jelasnya, kalau kita perhatikan baik-baik ternyata bunyi [i] yang terdapat pada
kata-kata [intan], [angin], dan [batik] adalah tidak sama. Pada contoh di atas
itulah sebagai salah satu contoh objek atau sasaran studi fonetik. Sebaliknya,
perbedaan bunyi [p] dan [b] yang terdapat pada kata [paru] dan [baru] adalah
contoh sebagai sasaran studi fonemik, sebab perbedaan bunyi [p] dan [b] itu
menyebabkan berbedanya makna kata [paru] dan [baru].
Sebelum
kita membicarakan kedua cabang fonologi itu secara secara lebi luas,perlu
kiranya di ketahui lebih dahulu, bahwa ada juga pakar yang menggunakan istilah fonologi untuk pengertian di sini di sebut fonemik. Jadi bidang fonologi itu bukan
menjadi fonetik dan fonemik, melainkan
menjadi fonetik dan fonologi[1].
2.
Fonetik
Seperti
sudah di sebutkan, fonetik adalah bidang linguistik yang mempelajari bunyi
bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai
pembeda makna atau tidak. Menurut urutan proses terajadinya bunyi bahasa itu,
di bedakan adanya tiga jenis fonetik, yaitu fonetik
artikulatoris, Fonetik akustik, dan fonetik
auditoris.
Fonetik
artikulatoris, disebut juga fonetik organis atau fisiologis, mempelajari
bagaimna mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi
bahasa, serta bagaimana bunyi itu diklasifikasikan. Fonetik akustik mempelajari
buni bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam. Dan bunyi bunyi itu di
selidiki frekuensi getarannya, amplitudonya, intensitasnya, dan timbrenya.
Sedangkan fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi
bahasa itu oleh telinga kita. Dari ketiga fonetik ini yang berurusan dengan
dunia lingustik ini adalan fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang
berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi bahasa itu di hasilkan atau di ucapkan
manusia. Sebab fonetik akustik itu berkenaan di bidang fisika, dan fonetik
auditoris lebih berkenaan di bidang kedokteran, yaitu neurologi[2].
a.
Alat
Ucap
Dalam
fonetik artikulatoris hal pertama yang harus di bicarakan adalah alat ucap
manusia untuk menghasilkan bunyi bahasa. Sebetulnya alat yang digunakan untuk
menghasilkan bunyi bahasa ini mempunyai
fungsi utama lain yang bersifat biolgis. Misalnya paru-paru untuk bernafas,
lidah untuk mengecap, dan gigi untuk mengunyah. Namun kita mengetahui alat-alat itu juga digunakan untuk berbicara.

Bunyi-bunyi
yang terjadi pada alat ucap itu biasanya diberi nama sesuai dengan nama alat
ucap itu. Namun, tidak biasa di sebut “bunyi gigi” atau “bunyi bibir”,
melainkan bunyi dental dan bunyi labial, yakni istilah berupa bentuk ajektif
dari bahasa Latinnya. Nama-nama ajektif
yang sering muncul dalam studi fonetik itu.
a)
Pangkal tenggorokan - laringan
b)
Rongga kerongkongan -
faringal
c)
Pangkal lidah –dorsal
d)
Tengah lidah – medial
e)
Daun lidah – laminal
f)
Ujung lidah – apikal
g)
Anak tekak – uvular
h)
Langit-langit lunak – velar
i)
Langit-langit keras – palatal
j)
Gusi – alveolar
k)
Gigi – dental
l)
Bibir – labial
Selanjutnya,sesuai
dengan bunyi bahsa itudihasilkan,maka harus di gabungkan istilah dari dua nama
alat ucap. Misalnya apikodental yaitu
gabungan antar ujung lidah dengan gigi atas;labiodental
yaitu gabungan antara bibir bawah dengan gigi atas; laminopalatal yaitu gabungan antara daun lidah dengan
langi-langit keras[3].
b.
Proses
Fonasi
Terjadinya
bunyi bahasa pada umumnya di mulai dengan proses pemompaan udara keluar dari
paru-paru melalui batang tenggorokan ke pangkal tengorokan,yang di dalamnya
pita suara. Supaya udara bisa terus keluar, pita suara itu harus berada dalam
posisi terbuka.setealah melalui pita suara, yang merupakan jalan satua-satunya
untuk bisa keluar, entah melalui rongga hidung atau rongga mulut, udara tadi di
teruskan ke udara bebas, kalau udara yang dari paru-paru itu keluar tanpa
mendapat hambatan apa-apa,maka tidak akan mendengar bunyi apa-apa kecuali bunyi
napas. Hambatan terhadap udara atau arus udara yang keluar dari paru-paru itu
dapat terjadinya mulai dari tempat yang paling di dalam. yaitu pita suara smpai
pada tempat yang paling luar, yaitu bibir atas dan bawah.
Adapula hambatan pada pita suara itu ada 4
macam yaitu;
a)
pita suara terbuka lebar : tidak ada bunyi
yang di hasilkan karna itu adalah posisi untuk
bernafas secara normal.
b)
pita suara terbuka agak lebar : akan
menghasilkan bunyi-bunyi tak bersuara karna tidak ada getaran apa-apa.
c)
pita suara terbuka sedikit : akan menghasilkan
bunyi suara karna terjadi getaran pada pita suara.
d)
pita suara tertutup rapat
rapat: langsung menghasilkan bunyi hamzah atau glotal itu.
Tempat
bunyi bahasa ini terjadi atau di hasilkan disebut tempat artikulasi, atau lebih
lazim disebut artikulator. Dalam
prsoses artikulasi ini, biasanya, terlibat dua macam artikulator, yaitu
artikulator aktiv dan artikulator pasif. Yang dimaksud artikulator aktiv
iadalah alat ucap yang bergerak atau di gerakan, misalnya, bibir bawah, ujung
lidah, dan daun lidah. Sedangkan artikulato pasif adalah alat ucap yang tidak
dapat bergerak atau yang didekati artikulator aktiv, misalnya, bibir atas, gigi
atas, dan langit langit keras. Sebagai contoh, kalau arus udara dihambatan pada
kedua bibir atas,dengan cacara bibir bawah , sebagai artikulator aktiv, merapat
pada bibir atas, yang menjadi artikulator pasif,maka akan terjadilah bunyi
bahasa yang di sebut bunyi bilabial seperti [b], [p], dan [w].
Keadaan, cara, atau posisi
bertemunya artikulator aktiv dan artikulator pasif disebut striktur. Dalam hal
ini ada beberapa macam stiktur, ada yang striktu aktiv haya menyentuh sedikit
artikulator pasif it, ada yang merapat, tetapi ada juga artikulator aktiv itu
sesudah menyentuh artikulator aktiv, lalu dihempas kembali kebawah. Jenis
striktur akan melahirkan jenis bunyi yang berbeda[4].
3.
Klasifikasi
Bunyi Bahasa
Perbedaan-perbedaan
nada pada suara (tinggi atau rendah) itu penting tidak saja dalam hal-hal
menyanyi, melainkan juga dalam bertutur kata setiap masyarakat. Bandingkan
perbedaan nada antara ‘Ya! dan ‘Ya? atau semacamnya.
Perbedaan-perbedaan ini dihasilkan dengan menguasai ketegangan selaput suara,
yaitu mempercepat atau melambatkan getaran-getarannya. Perubahan nada suara itu
sendiri bergantung kepada bekerjanya alat-alat artikulasi yang lain.[5]
Pada
umumnya bunyi di klasifikasifan menjadi dua bagian, yang pertama ialah Bunyi
Segmental dan Bunyi Suprasegmental.
a.
Bunyi Segmental
Klasifikasi
bunyi segmental didasarkan pada berbagai macama kriteria, yaitu ada tidaknya
gangguan, mekanisme udara, arah udara, pita suara, lubang lewatan udara,
mekanisme artikulasi, cara gangguan, maju mundurnya lidah, tinggi rendahnya
lidah dan bentuk bibir.[6]
1) Ada
Tidaknya Gangguan
Yang dimaksud gangguan adalah
penyempitan atau penutupan yang dilakukan alat-alat ucap atas arus udara dalam
pembentukan bunyi, dilihat dari ada tidaknya gangguan ketika bunyi di ucapkan,
bunyi dapat di kelompokkan menjadi dua, yaitu Vokoid (vokal) dan Kontoid
(konsonan).
2) Mekanisme
Udara
Yang di maksud mekanisme
udara adalah dari mana datangnya udara yang menggerakkan pita suara sebgai
sumber bunyi.
3) Arah Udara
Dilihat dari arah udara ketika bunyi
dihasilkan, bunyi dapat di kelompokkan menjadi dua, yang pertama bunyi egresif
yaitu bunyi yang dihasilkan dari arah udara menuju keluar rongga mulut dan
ingresif yaitu bunyi yang dihasilkan dari arah udara masuk kedalam paru-paru.
4)
Pita suara
Dilihat dari bergetar tidaknya pita suara
ketika bunyi di hasilkan.
5)
Lubang lewatan udara
Dilihat dari lewatan udara
ketika bunyi dihasilkan, yang dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
a)
Bunyi Oral, yaitu
bunyi yang dihasilkan dengan cara udara keluar dari rongga mulut.
b) Bunyi Nasal, adalah bunyi yang dihasilkan dengan cara udara
keluar dari rongga hidung.
c)
Bunyi Sengau, yaitu
bunyi yang dihasilkan dengan cara udara keluar melalui rongga mulut dan hidung.
6)
Mekanisme Artikulasi
Yang dimaksud mekanisme
artikulasi adalah alat ucap mana yang bekerja atau bergerak ketika menghasilkan
bunyi bahasa.
7)
Cara Gangguan
Dilihat dari cara gangguan
arus udara oleh artikulator ketika bunyi di ucapkan.
Misalnya bunyi frikatif (Geser), yaitu
bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara dihambat sedemikian rupa sehingga
udara dapat keluar. Seperti, [f], [v], [s], [z], [x].
8)
Tinggi Rendahnya Lidah
Dilihat dari tinggi rendahnya
lidah ketika bunyi diucapkan, misalnya, [i] pada kata [kita], maka posisi lidah
meninggi dan rahang bawah merapat dengan rahang atas, dan [e] pada kata
[segera], posisi rahang bawah dan lidah berada pada posisi netral atau
ditengah, sedangkan [a] pada kata [bata] posisi lidah merendah dari
langit-langit keras.
9)
Maju Mundurnya Lidah
Dilihat dari maju mundurnya
lidah ketika bunyi di ucapkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
bunyi depan, bunyi pusat dan bunyi belakang.
a)
Bunyi depan yaitu bunyi yang
dihasilkan dengan cara bagian lidah dinaikkan. Misalnya, [i], [e], [a].
b)
Bunyi pusat, yaitu bunyi
dengan cara lidah merata, seperti [ә]
c)
Bunyi belakang, yaitu bunyi
yang dihasilkan dengan cara bagian belakang lidah dinaikan, misalnya [u], [o].
10)Bentuk
Bibir
Dilihat dari bentuk bibir
ketika bunyi di ucapkan, seperti bunyi bulat [u] dan [o], dan yang tidak bulat
seperti [i], [a] dan [e].
b.
Bunyi Suprasegmental
Telah dijelaskan sebelumnya
bahwa bunyi-bunyi bahasa ketika diucapkan ada yang bisa disegmen-segmenkan,
diruas-ruaskan. Atau di pisah-pisahkan. Bunyi yang dapat disegmentasikan
disebut bunyi segmental. Tetapi, ada juga yang tidak bisa selalu mengiringi
atau menemani bunyi segmental.[7]
Oleh
para fonetisi, bunyi-bunyi suprasegmental ini dikelompokkan menjadi empat
jenis, yaitu menyangkut aspek tinggi-rendah bunyi (nada), keras-lemah
bunyi (tekanan), panjang-pendek bunyi (tempo), dan kesenyapan (jeda).
a)
Tinggi-Rendah (Nada, Tona, Pitch)
Ketika
bunyi-bunyi segmental diucapkan selalu melibatkan nada, baik nada tinggi,
sedang, atau rendah. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor ketegangan pita suara,
arus udara, dan posisi pita suara ketika bunyi itu di ucapkan.
Nada ini
menjadi perhatian para fonetisi karena secara linguistik berpengaruh dalam
satuan sistem sitem linguistik tertentu.
Contoh : Sate. ‘pemberitahuan bahwa ada
sate’
Sate? ‘menanyakan
tentang sate’
Sate! ‘memanggil penjual sate’
Bahkan,
secara nonlinguistik, nada pun bisa menunjukkan kadar emosi penutur. Misalnya,
nada tinggi tajam menunjukkan kemarahan, nada rendah menunjukkan kesusahan, dan
nada tinggi menunjukkan kegembiraan.[8]
b) Keras-Lemah
(Tekanan, Aksen, Stress)
Ketika
bunyi-bunyi segmental diucapkan pun tidak pernah dari keras atau lemahnya
bunyi. Hal ini disebabkan oleh keterlibatan energi otot ketika bunyi itu
diucapkan. suatu bunyi dikatakan mendapatkan tekanan apabila energi otot yang
dikeluarkan lebih besar ketika bunyi itu diucapkan. Sebaliknya, suatu bunyi
dikatakan tidak mendapatkan tekanan apabila energi otot yang dikeluarkan lebih
kecil ketika bunyi itu diucapkan.
Pada
tataran kalimat, tekanan kata tertentu bisa membedakan maksud kalimat.
Misalnya, dalam kalimat berikut :
Saya membeli
buku. (tekanan pada saya)
Saya membeli
buku. (tekanan
pada membeli)
Saya
membeli buku. (tekanan
pada buku)
c)
Panjang Pendek (durasi, Duration)
Bunyi-bunyi
segmental juga dapat dibedakan dari panjang pendeknya ketika bunyi itu
diucapkan. Bunyi panjang untuk vokoid diberi tanda mora, yaitu satuan
waktu pengucapan, dengan tanda titik. Tanda titik satu [.] menandakan
satu mora, tanda titik dua [:] menandakan dua mora, dan tanda
titik tiga [:.] menandakan tiga mora.[9]
Dalam
bahasa-bahasa tertentu variasi panjang pendek bunyi ini ternyata bisa
membedakan makna (sebagai fonem), misalnya :
Belanda : [ban] ‘kucil’
[ba:n] ‘jalan’
Arab : [habibi] ‘kekasih’
[habibi:] ‘kekasihku’
Dalam
bahasa Indonesia, aspek durasi ini tidak membedakan makna atau tidak fonemis,
juga tidak mempunyai makna atau tidak morfemis.
d) Kesenyapan
(Jeda, Juncture)
Yang
dimaksud dengan penghentian adalah pemutusan suatu arus bunyi segmental ketika
di ujarkan oleh penutur. Sebagai akibatnya, akan terjadi kesenyapan di antara
bunyi-bunyi yang terputus itu, kesenyapan ini bisa berada pada posisi awal,
tengah, dan akhir.Kesenyapan awal dan akhir ujaran ditandai dengsn palang
rangkap memanjang [#], kesenyapan di antara kata ditandai dengan palang rangkap
pendek [#], sedangkan kesenyapan di antara suku kata ditandai dengan palang
tunggal [+].[10]
Misalnya :
[
# i + ni # bu + ku # ]
Kesenyapan
luar menunjukkan batas yang lebih besar dari suku kata. Dalam hal ini biasanya
dibedakan sebagai berikut:
1) Jeda
antarkata dalam frase, ditandai dengan garis miring tunggal [/].
2) Jeda
antarfrase dalam klausa, ditandai dengan garis miring ganda [//].
3) Jeda
antarkalimat dalam wacana/ paragraf, ditandai dengan garis silang ganda [#].
Tekanan
dan jeda dalam bahasa Indonesia sangat penting karena tekanan dan jeda itu
dapat mengubah makna kalimat. Contoh:
# buku // sejarah / baru #
# buku / sejarah // baru #
Kalimat
pertama bermakna ‘buku mengenai sejarah baru’; sedangkan kalimat kedua
bermakna ‘buku baru mengenai sejarah’.
4. Silaba (Suku Kata)
Silaba
atau suku kata sudah lama dikenal, terutaam dalam kaitannya dengan sistem
penulisan. Sebelum alfabet lahir, sistem penulisan didasarkan atas suku kata
ini, yang disebut tulisan silabari.
Untuk
memahami tentang suku kata ini, para linguis atau fonetisi berdasarkan pada dua
teori , yaitu teori sonoritas, dan teori prominans. Teori
sonoritas menjelaskan bahwa suatu rangkaian bunyi bahasa yang diucapkan oleh
penutur selalu terdapat puncak-puncak kenyaringan (sonoritas) diantara
bunyi-bunyi yang diucapkan. puncak kenyaringan ini ditandai dengan denyutan
dada yang menyebabkan udara keluar dari paru-paru inilah yang disebut satuan silaba
atau suku kata.[11]
Misalnya,
ucapan kata bahasa [mendaki] terdari atas tiga puncak kenyaringan yang
ditandai keluarnya udara dari paru-paru ketika kata itu diucapkan. puncak
kenyaringan itu adalah [e] pada kata [men], [a] pada [da], dan [i] pada [ki].
Dengan demikian kata [mendaki] memiliki tiga suku kata. Suku kata
pertama pertama berupa bunyi sonor [e] yang didahului dengan kontoid [m] dan
diikuti kontoid [n], suku kata kedua berupa bunyi sonor [a] yang didahului
kontoid [d] dan suku kata ketiga berupa bunyi sonor [i] yang didahului kontoid
[k].
Teori prominans menitikberatkan pada gabungan sonoritas
dan ciri-ciri suprasegmental, terutama jeda. Ketika rangkaian bunyi itu
diucapkan, selain terdengar satuan kenyaringan bunyi, juga terasa adanya jeda
di antaranya, yaitu kesenyapan sebelum dan sesudah puncak kenyaringan.
Berdasarkan teori sonoritas dan teori prominans diketahui
bahwa sebagian besar struktur suku kata terdiri atas satu bunyi sonor yang berupa
vokoid, baik didahului maupun diikuti kontoid.
Jadi, dapatlah dipakai sebagai suatu peraturan umum bahwa
jika sebuah vokoid dan sebuah kontoid terdapat dalam sebuah suku kata yang
sama, vokoid itulah yang selalu menjadi silabis, dan tidak pernah kontoid itu
yang menjadi silabis.[12]
5.
Fonem
Masing-masing
bunyi yang membedakan makna dalam sebuah bahasa ini disebut fonem.[13] Misalnya, kita meneliti bunyi-bunyi [a] yang
berbeda pada kata-kata seperti lancar, laba, dan lain; maka dalam fonem kita
meneliti apakah perbedaan bunyi itu mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau
tidak. Jika bunyi itu membedakan makna, maka bunyi itu disebut fonem, dan jika
tidak membedakan makna adalah bukan fonem.
a.
Identifikasi Fonem
Untuk
mengetahui apakah sebuah bunyi fonem atau bukan, kita harus mencarisebuah
satuan bahasa, biasanya sebuah kata, yang mengandung bunyi tersebut, lalu
membandingkannya dengan satuan bahasa lain yang mirip dengan satuan bahasa yang
pertama. Misalnya, kata Indonesia laba dan raba.
[l] ,
[a] , [b] , [a]
[r] ,
[a] , [b] , [a]
Ternyata
perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama, yaitu bunyi [l] dan bunyi [r]. maka
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bunyi [l] dan bunyi [r] adalah dua buah
fonem yang berbeda di dalam bahasa Indonesia, yaitu fonem /l/ dan fonem /r/[14].
b.
Alofon
Alofon
adalah bunyi-bunyi yang merupakan realisasi dari sebuah fonem, seperti bunyi
[t] dan [th] untuk fonem /t/ dalam
bahasa inggris.
Dalam
bahasa Indonesia fonem /o/ setidaknya mempunyai dua buah alofon, yaitu bunyi
[ↄ] seperti pada kata tokoh, dan bunyi [o] seperti pada kata toko.
Kalau
diperhatikan bahwa alofon adalah realisasi dari fonem, maka dapat dikatakan
bahwa fonem bersifat abstrak karena fonem itu hanyalah abstraksi dari alofon
atau alofon-alofon itu. Dengan kata lain, yang konkret, atau nyata ada dalam
bahasa adalah alofon itu, sebab alofon atau alofon-alofon itulah yang diucapkan[15].
c.
Klasifikasi Fonem
Kriteria
dan prosedur klasifikasi fonem sebenarnya sama dengan cara klasifikasi bunyi,
ada nbunyi vokal dan konsonan, maka juga ada fonem vokal dan konsonan. Bedanya
kalau bunyi-bunyi vokal dan konsonan itu banyak sekali, maka fonem vokal dan
konsonan ini agak terbatas, sebab hanya bunyi-bunyi yang dapat membedakan makna
saja yang dapat menjadi fonem. Itu pun hanya dalam bahasa tertentu saja.
Misalnya, bunyi [t] dan [th] dalam bahasa mandarin merupakan dua buah fonem
yang berbeda, yaitu fonem /t/ dan fonem /th/. Sedangkan dalam bahasa Inggris
kedua bunyi itu hanya merupakan alofon dari fonem yang sama, yaitu fonem /t/[16].
d.
Khazanah Fonem
Yang
dimaksud dengan khazanah fonem adalah banyaknya fonem yang terdapat dalam satu
bahasa. Berapa jumlah fonem yang dimiliki suatu bahasa tidak sama jumlahnya
dengan yang dimiliki bahasa lain.
Ada
kemungkinan juga, karena perbedaan tafsiran, maka jumlah fonem dalam suatu
bahasa menjadi tidak sama banyaknya menurut pakar yang satu dengan pakar yang
lain. Misalnya, fonem vokal bahasa Arab disebutkan ada tiga buah, tetapi ada
yang menghitung fonem vokal dalam bahasa Arab ada enam buah, yakni tiga fonem
vokal biasa ditambah tiga buah fonem vokal panjang. Jadi, unsur pemanjangan
tidak dihitung satu, melainkan sebanyak dimana pemanjangan itu berada atau
berdistribusi dengan fonem segmental[17].
e.
Perubahan Fonem
Dalam
bahasa-bahasa tertentu ada dijumpai perubahan fonem yang mengubah identitas
fonem itu sendiri menjadi fonem yang lain. Berikut ini akan dibicarakan
beberapa kasus perubahan fonem itu.
1) Asimilasi
dan Disimilasi
Asimilasi
adalah peristiwa berubahnya sebuah bunyi menjadi bunyi yang lain sebagai akibat
dari bunyi yang ada di lingkungannya sehingga bunyi itu menjadi sama atau
mempunyai ciri-ciri yang sama dengan bunyi yang mempengaruhinya, umpamanya kata
sabtu dalam bahasa indonesia lazim diucapkan [saptu], di mana terlihat bunyi
[b] berubah menjadi [p] sebagai akibat pengaruh bunyi [t]. Bunyi [b] adalah
bunyi hambat bersuara sedangkan bunyi [t] adalah bunyi hambat tak bersuara.
oleh karena itu, bunyi [b] yang bersuara itu, karena pengaruh bunyi [t] yang
tak bersuara, berubah menjadi bunyi [p] yang juga tidak bersuara
Kalau
perubahan itu menyebabkan berubahnya identitas sebuah fonem, maka perubahan itu
disebut asimilasi fonemis. Biasanya dibedakan adanya asimilasi progresif,
asimilasi regresif, dan asimilasi resiprokal. Pada asimilasi progresif bunyi yang diubah itu terletak di belakang
bunyi yang mempengaruhinya. Misalnya, dalam
bahasa Jerman bentuk mit der Frau diucapkan [mit ter frau].
Kita lihat bunyi [d] pada kata der
berubah menjadi bunyi [t] sebagai akibat dari pengaruh bunyi [t] pada kata mit
yang ada di depannya. Pada asimilasi regresif, bunyi yang diubah itu
terletak di muka bunyi yang mempengaruhinya. Contohnya adalah berubahnya bunyi
[p] menjadi bunyi [b] pada kata belanda op de weg di lafalkan [obdeweg],
di mana bunyi [p] dilafalkan menjadi bunyi [b] sebagai akibat pengaruh bunyi
[d] pada kata de. Sedangkan pada asimilasi resiprokal perubahan
itu terjadi pada kedua bunyi yang saling mempengaruhi itu. Sehingga menjadi
fonem atau bunyi yang lain. Misalnya, dalam bahasa Batak Toba, kata bereng ‘lihat’
dan kata hamu ‘kamu’ dalam konstruksi gabungan bereng hamu ‘lihatlah
oleh kamu’, baik bunyi [ng] pada kata bereng maupun bunyi bunyi [h] pada
hamu keduanya berubah menjadi bunyi [k], sehingga konstruksi bereng
hamu itu diucapkan [berek kamu]. Karena bunyi /n/, /h/, dan /k/ merupakan fonem yang berbeda dalam bahasa
Batak Toba, maka perubahan tersebut termasuk asimilasi fonemis.
Kalau
perubahan dalam proses asimilasi menyebabkan dua bunyi yang berbeda menjadi
sama, baik seluruhnya maupun sebagian dari cirinya, maka dalam proses
disimilasi perubahan itu mnyebabakan dua fonem yang sama menjadi berbeda atau
berlainan. Contoh yang ada dalam bahasa Indonesia ialah kata cipta dan cinta yang berasal dari
bahasa sansakerta citta. Kita lihat, bunyi [tt] pada kata citta
berubah menjadi bunyi [pt] pada kata cipta dan menjadi bunyi [nt] pada
kata cinta[18].
2) Netralisasi
dan Arkifonem
Dalam
bahasa Belanda ada kata yang dieja hard ‘keras’ dan dilafalkan [hart].
Di samping itu ada kata lain yang dieja hart ‘jantung’ dan diucapkan
[hart]. Jadi, pelafalan kedua kata yang dieja berbeda itu adalah sama. Karena
dalam bahasa Belanda, konsonan hambat bersuara seperti [d] itu adalah tidak
mungkin. Oleh karena itu, diubah menjadi
konsonan yang homorgan tak bersuara yakni [t]. Oposisi antara bunyi [d] dan [t]
adalah antara bersuara dan tak bersuara. Pada posisi akhir oposisi itu di
netralkan menjadi bunyi tak bersuara. Jadi, adanya bunyi [t] pada posisi akhir
kata yang dieja hard itu adalah
hasil netralisasi itu.
Fonem
/d/ pada kata hard yang bisa berwujud /t/ atau /d/ dalam peristilahan
linguistik disebut arkifonem. Dalam hal ini biasanya dilambangkan dengan
huruf besar /D/. Mengapa dipilih /D/ dan bukannya /T/ ? karena bentuk “aslinya”
yang tampak dalam bentuk harder adalah /d/, bukannya /t/[19].
3) Umlaut,
Ablaut, dan Harmoni
Kata
umlaut berasal dari bahasa Jerman. Dalam studi fonologi kata ini mempunyai
pengertian: perubahan vokal sedemikian rupa sehingga vokal itu diubah menjadi
vokal yang lebih tinggi sebagai akibat dari vokal yang berikutnya yang tinggi.
Misalnya, dalam bahasa Belanda bunyi [a] pada kata handje lebih tinggi kualitasnya bila dibandingkan
dengan bunyi [a] pada kata hand. Penyebabnya adalah bunyi [y] yang posisinya lebih tinggi dari
bunyi [a] pada kata hand. Peninggian vokal [a] disni hanya bersifat
alofonis.
Ablaut
adalah perubahan vokal yang kita temukan dalam bahasa-bahasa Indo Jerman untuk
menandai pelbagai fungsi gramtikal. Misalnya, dalam bahasa Jerman untuk
mengubah bentuk singularis menjadi bentuk pluralis, seperti pada kata haus ‘rumh’
menjadi hauser.
Perubahan
bunyi yang disebut harmoni vokal atau keselarasan vokal terdapat dalam bahasa
Turki. Contoh, at ‘kuda’ bentuk jamaknya adalah atlar ‘kuda-kuda’
dan kata ev ‘rumah’ bentuk
jamaknya adalah eveler ‘rumah-rumah’. Bunyi [a] pada bentuk tunggal
menyebabkan bentuk jamaknya juga berbunyi [a]; lalu bunyi [e] pada bentuk
tunggal menyebabkan bentuk jamaknya berbunyi [e][20].
4) Kontraksi
Dalam
percakapan yang cepat atau dalam situasi yang informal seringkali penutur
menyingkat ujarannya. Umpamanya, dalam bahasa Indonesia ungkapan tidak tahu diucapkan
menjadi ndak tahu; ungkapan yang
itu tadi menjadi yang tutadi. Dalam bahasa Inggris kita jumpai
bentuk shall not menjadi shan’t.
Dalam
pemendekan seperti ini, yang dapat berupa hilangnya sebuah fonem atau lebih,
ada yang berupa kontraksi. Dalam kontraksi pemendekan itu menjadi satu segmen
dengan pelafalannya sendiri-sendiri. Misalnya, shall not yang menjadi shan’t,
di mana fonem /e/ dari shall diubah menjadi /a/ dalam shan’t.
5) Metatesis
dan Epentesis
Proses
metatesis mengubah urutan fonem yang terdapat dalam suatu kata. Lazimnya, bentuk
asli dan bentuk metatesisnya sama-sama terdapat dalam bahasa tersebut sebagai
variasi. Dalam bahasa Indonesia kita temukan contoh, selain bentuk sapu, ada
juga bentuk lajur dan jalur.
Dalam
proses epentesis sebuah fonem tertentu, biasanya yang homorgan dengan
lingkungannya, disisipkan ke dalam sebuah kata. Dalam bahasa Indonesia ada sampi
dan sapi: ada kampak disamping kapak. Pada kasus sampi dan
sapi atau kampak dan kapak ada bunyi [m] yang disisipkan
ditengah kata[21].
Perubahan
bunyi atau fonem yang dibicarakan di atas hanya terjadi pada bahasa-bahasa
tertentu, yang tidak harus terjadi pada bahasa lain. Begitu pun mungkin
terdapat pula perubahan bunyi.
6.
Fonotaktik
Kaidah
fonotaktik adalah kaidah yang merangkaikan fonem-fonem secara sintaktik atau
secara horizontal sehingga menghasilkan suku kata. Fonotaktik mempunyai tiga
tingkatan pembahasan, yaitu kalimat, kelompok suku kata, dan suku kata.
Fonotaktik dibentuk dari kalimat yang dihasilkan dari modulasi didalam kalimat.
Modulasi merupakan unsur prosodi yang terdiri intonasi dan tekanan. Proses
fonotaktik merupakan pembagian kalimat ke dalam unsur bawahan langsung. Seperti
kelompok-kelompok suku kata yang akan menjadi suku kata. Suku kata itu kemudian
mengurai menjadi aksen dan dasar silabis.
Fonotaktik
juga ditentukan oleh pembagian suku kata yang terdiri dari bunyi konsonan.
Syarat untuk proses tersebut adalah bentuk konsonan merupakan bagian dari
kelompok yang juga muncul didalam suku kata lain yang terpisah. selain
konsonan, bunyi vokal juga memegang peranan penting didalam analisis fonotaktik[22].
Contoh[23]:
1) Terdiri
atas V (vokal): /a – da/
2)
Terdiri atas VK (vokal,
konsonan): /an – tar/
3)
Terdiri atas VKK : /eks –
tra/
4)
Terdiri atas KV : /da – sar/
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer,
Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta. Rineka Cipta.
Muslich,
Masnur. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta. Bumi Askara.
Samsuri.
1978. Analisa Bahasa. Jakarta. Erlangga.
Soeparno.
2013. Dasar-Dasar Linguistik Umum. Yogyakarta. Tiara Wacana.
Syarif Hidayatullah, Moch. 2012. Cakrawala
Linguistik Arab. Tangerang Selatan. Alkitabah.
Yule, George. 2015. Kajian Bahasa. Yoyakarta.
Pustaka Pelajar.
[1]
Abdul Chaer, Linguistik
Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012) hal. 100- 102
[3] Abdul Chaer,
hal. 104
[4] Abdul Chaer,
hal. 107
[5]Samsuri, Analisa
Bahasa, (jakarta:Erlangga, 1978), hlm. 102
[7] Masnur
Muslich, hlm. 61
[8] Masnur
Muslich, hlm. 63
[10] Masnur
Muslich, hlm. 66
[11] Masnur
Muslich, hlm. 73
[13]George Yule, Kajian Bahasa, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015), hal. 61
[19]
Abdul Chaer,
hal. 134
[20] Abdul Chaer,
hal. 135
[22] Moch. Syarif
Hidayatullah, Cakrawala Linguistik Arab, (Tangerang Selatan: Alkitabah,
2012) hal.
Fonologi
Reviewed by Unknown
on
Rabu, Desember 28, 2016
Rating:

Tidak ada komentar:
Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada