Kritik Sastra Psikoanalisa
PSIKOANALISA
SASTRA
Pengertian
Aliran
psikoanalisis adalah sebuah metode yang mementingkan unsur psikologis yang
tersembunyi dari sastrawan dalam menjelaskan karya sastranya.[1]
Rene
Wellek dan Austin Warren (1995:78) mengartikan bahwa istilah “psikologi sastra”
mempunyai empat kemungkinan pengertian. Pertama, studi psikologi pengarang
sebagai tipe atau pribadi. Kedua, studi proses kreatif. Ketiga, studi
tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Keempat,
studi tentang dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).[2]
Psikoanalisis
pada awalnya adalah sebuah metode psikoterapi untuk menyembuhkan
penyakit-penyakit mental dan syaraf, dengan menggunakan teknik tafsir mimpi dan
asosiasi bebas. Teori ini kemudian meluas menjadi sebuah teori tentang
kepribadian.
Konsep-konsep
yang terdapat dalam teori kepribadian versi psikoanalisis ini termasuk yang
paling banyak dipakai di berbagai bidang, hingga saat ini. Konsep Freud yang
paling mendasar adalah teorinya tentang ketidaksadaran. yaitu bahwa tingkah
laku manusia lebih banyak digerakkan oleh aspek-aspek tak sadar dalam dirinya.
Pembagian itu dikenal dengan sebutan struktur kepribadian manusia, dan terdiri
atas tiga unsur, yaitu id, ego, dan superego.
Id
adalah bagian yang sepenuhnya berada dalam ketidak sadaran manusia. Id berisi
cadangan energi, insting, dan libido, dan menjadi penggerak utama tingkah laku
manusia. Id menampilkan dorongan-dorongan primitif dan hewani pada manusia, dan
bekerja berdasarkan prinsip kesenangan. Ketika kecil, pada manusia yang ada
baru id-nya. Oleh karena itu kita melihat bahwa anak kecil selalu ngotot jika
menginginkan sesuatu, tidak punya rasa malu, dan selalu mementingkan dirinya
sendiri.
Ego
berkembang dari id, ketika manusia mulai meninggalkan kekanak-kanakannya,
sebagai bentuk respon terhadap realitas. Ego bersifat sadar dan rasional.
keinginan-keinginan id tidak selalu dapat dipenuhi, dan ketika itulah ego
memainkan peranan. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas. Misalnya, ketika
id dalam diri kita ingin makan enak di restoran mahal, tetapi keuangan kita
tidak mampu, maka ego tidak bisa memenuhi keinginan itu.
Superego
muncul akibat persentuhan dengan manusia lain (aspek sosial). Dalam keluarga,
superego ditanamkan oleh orang tua dalam bentuk ajaran moral mengenai baik dan
buruk, pantas dan tidak pantas, dsb. Superego muncul sebagai kontrol terhadap
id, terutama jika keinginan id itu tidak sesuai dengan moralitas masyarakat.
Superego selalu menginginkan kesempurnaan karena ia bekerja dengan prinsip
idealitas.[3]
Pokok-Pokok Pembahasan
Sejarah
Perkembangan
Munculnya
pendekatan psikologi dalam sastra disebabkan oleh meluasnya perkenalan
sarjana-sarjana sastra dengan ajaran-ajaran Freud yang mulai diterbitkan dalam
bahasa Inggris. Yaitu tafsiran mimpi (The Interpretation Of Dreams)
dalam dekade menjelang perang dunia. Pembahasan sastra dilakukan swbagai
eksperimen tekhnik simbolisme mimpi, pengungkapan aliran kesadaran jiwa, dan
pengertia libido ala Freud menjadi semacam sumber dukungan terhadap
pemberontakan sosial melawan Puritanisme (kerohanian ketat) dan tata cara
Viktorianoisme (pergaulan kaku).
Dahulu
kejeniusan sastrawan selalu menjadi bahan pergunjingan. Sejak zaman Yunani,
kejeniusan dianggap kegilaan (madness) dari tingkat neurotik sampai
psikologis. Penyair dianggap orang yang kesurupan (possessed). Ia berbeda
dengan yang lainnya, dan dunia bawah sadarnya yang disampaikan melalui karyanya
dianggap berada dibawah tingkat regional. Namun, pengarang tidak sekedar
mencatat gangguan emosinya ia juga mengolah suatu pola arketipnya, seperti
Dostoyevsky dalam karyanya The Brother Kamarazov atau suatu pola kepribadian
neurotik yang sudah menyebar pada zaman itu. Kemudian, ilmu tentang emosi dan
jiwa itu berkembang dalam penilaian karya sastra (Psikoanalisis Sastra).
Psikologi
atau psikoanalisis dapat mengklarifikasikan pengarang berdasar tipe psikologi
dan tipe fisiologisnya. Psikoanalisis dapat pula menguraikan kelainan jiwa
bahkan alam bawah sadarnya. Bukti-bukti itu diambil dari dokumen diluar karya
sastra itu sendiri. Untuk menginteprestasikan karya sastra sebagai bukti
psikologis, psikolog perlu mencocokannya dengan dokumen-dokumen diluar karya
sastra.
Asumsi
dasar psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh berbagai hal. Pertama,
adanya anggapan bahwa karya sastra adalah produk dari suatu kejiwaan dan
pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subcocious)
setelah jelas baru dituangkan dalam bentuk secara sadar (conscious). Antara
sadar dan tidak sadar selalu mewarnai proses imajinasi pengarang. Kekuatan
karya sastra dapat dilihat seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi
kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta sastra.
Kedua,
kajian psikologi sastra disamping meneliti perwatakan tokoh secara psikologis
juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika pengarang menciptakan
karya tersebut. Seberapa jauh pengarang mampu menggambarkan perwatakan tokoh
sehingga karya tersebut menjadi lebih hidup. Sentuhan-sentuhan emosi melalui
dialog ataupun pemilihan kata, sebenarnya merupakan gambaran kekalutan dan
kejernihan batin pencipta. Kejujuran batin itulah yang akan menyebabkan
orisinalitas karya.
Psikologi
dalam sastra lebih meenitik beratkan karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang
akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya. Begitu pula pembaca,
dalam menanggapi karya juga tidak akan lepas dari kejiwaan masing-masing.
Bahkan dalam psikologi sastra, karya dianggap sebagai refleksi kejiwaan.[4]
Tokoh-tokoh
Psikoanalisis Sastra
Berikut
ini adalah nama tokoh-tokoh yang menjadi penggagas Psikoloanalisis sastra:
·
Sigmund Freud, seorang
yang sangat berbudaya dan beliau mendapatkan dasar pendidikan Austria yang
menghargai karya Yunani dan Jerman klasik.
·
T.S Elliot
·
Ribot, psikolog Prancis
·
L. Russu
·
Wordsworth yang
menggunakan psikologi sebagai uraian genetik tentang puisi.
·
Tatengkeng, Pujangga
Baru. Menyatakan bahwa untuk menulis puisi yang baik penyair harus dalam
keadaan jiwa tertentu pula.[5]
Cara
Kerja
·
Metode psikologis menekankan
analisis terhadap keseluruhan karya sastra baik segi intrinsik maupun segi
ekstrinsik. Namun metode ini lebih ditekankan pada segi intrinsik sesuai dengan
penokohan atau perwatakan.
·
Segi ekstrinsik perlu
dibahas yang menyangkut dengan permasalahan jiwa. Dengan memahami segi kejiwaan
pengarang, akan sangat membantu dalam karakter cerita atau karya sastra yang di
tulisnya.
·
Disamping menganalisis
perwatakan dalam segi psikologis, mengurai tentang tema karya sastra itu
sendiri juga perlu dlakukan.
·
Analisis dapat
diteruskan kepada analisis kesan pembaca, karena karya sastra sangat
berpengaruh dalam respon pembaca yang menimbulkan kesan pada pembaca dan
berdampak didaktis bagi dirinya.[6]
KRITIK
SASTRA NOVEL KLASIK BERJUDUL “KATAK HENDAK MENJADI LEMBU” BERDASARKAN TEORI
PSIKOANALISIS
Di
sini teori Freud ini digunakan untuk menemukan bahwa kepribadian tokoh-tokoh
dan kejadian-kejadian dalam novel karya Nur Sutan Iskandar ini yang mana hal
tersebut sangat sesuai dengan teori-teorinya mengenai kepribadian manusia yang
dikuasi oleh id, ego dan superego.
Demikian
halnya yang dilakukan oleh Nur St. Iskandar dalam mengarang cerita ini penuh
dengan gejolak pertentangan jiwa seperti yang dirasakah oleh Zubaidah istri
Raden Suria yang memiliki watak tak pernah merasa puas dalam hidupnya dan
sangat bangga dengan gelar kebangsawannya.
Nur
St. Iskandar telah berhasil mengangkat sebuah efek atau kesan yang kerap
dirasakan pembaca ketika menikmati karya sastra tertentu yang bersifat
menyentuh perasaan sepeti cemas, takut, atau marah juga jengkel. Meskipun
perasaan-persaaan itu muncul, anehnya pembaca tetap menyenangi dan menikmati
karya sastra demikian.
Unsur
Intrinsik :
Tema
cerita : Masalah seorang keturunan bangsawan Sunda yang tidak mau bekerja
keras. Ia begitu bangga akan kebangsawannya. Selain itu mengangkat juga
permasalahan manusia yang melakukan sesuatu di luar batas kemampuannya.
Setting
Cerita : Cerita ini berlatar belakang masyarakat bangsawan Sunda. Tempat
kejadiannya adalah Bandung, Sumedang, Cirebon, Jakarta, Garut hanya disebut
sebagai tempat tinggal keluarga Kosim, dan Tasikmalaya Jawa Barat.
1.
Zakaria : seorang haji yang kaya raya.
2.
Suria : anak haji Zakaria. Dia mempunyai sifat yang kurang baik. Pembawaannya
pongah, suka berhura-hura. Dia selalu mengharapkan dan melakukan sesuatu
dilular batas kemampuannya. Dengan kata lain dia berbuat sekehendak hati
termasuk dalam hal keuangan yang dalam istilahnya : lebih besar pasak daripada
tiang.
3. Haji
hasbullah : Seorang haji yang kaya raya, sahabat haji Zakaria.
4.
Zubaidah atau Edah : putri tunggal haji Zakaria yang mempunyai sifat penurut,
sopan, santun dan berbudi luhur serta halus perasaannya.
5.
Raden Prawira : seorang mantri polisi.
6.
Abdulhalim : anak perkawinan Suria dan Zubaidah.
7.
Raden Kosim : pegawai magang yang satu kantor dengan Raden Suria.
8. Haji
Junaedi : Petani kaya raya yang memiliki seorang putri bernama Fatimah.
9.
Wedana Raden Atmadi Nata : Sahabat karib almarhum ayah Raden Kosim yang juga
merupakan atasan dari Raden Kosim dan Raden Suria.
Kajian
watak tokoh Zubaidah ditinjau dari Teori Psiko-analisis :
Rupanya
Nur St Iskandar bermaksud menggambarkan tokoh Edah (Zubaidah) adalah tokoh
wanita yang penurut namun sebenarnya hatinya menolak semua unsur id yang
dimiliki suaminya, sehingga terjadilah konflik emosi dan kejiwaan Edah,
Superego menjadi unsur karakter Zubaedah yang berfungsi sebagai lapisan yang
menolak sesuatu yang melanggar prinsip moral, yang menyebabkan seseorang malu
atau memuji sesuatu yang dianggap baik. Apabila terjadi keseimbangan wajar
didalam kehidupan batin rumah tangganya, maka ketiga unsur yaitu id, Ego dan
Superego nya seimbang, maka hal itu akan memberikan watak manusia yang wajar
atau biasa. Namun Edah tidak bisa melaukan itu karena tuntutan keadaan dimana
adanya faktor luar dari dirinya yang menyebabkan adanya konflik keseimbangan
dalam unsur yang membentuk dirinya sehingga membentuk konflik emosi Zubaedah.
Konflik emosi pada dasarnya adalah konflik antara persaan bawah sadar dengan
keinginan-keinginan yang muncul dari luar. Emosi yang dimiliki Edah bersifat
dwirasa yaitu emosi antar sayang, kasihan, hormat dan benci saling bercampur.
Penyelesaian konflik batinnya dengan disembunyikan yang mengakibatkan Zubeadah
sakit karena tekanan batin karena dia gagal men-sublimasi konfliknya dengan
baik.
Kajian
watak tokoh Suria ditinjau dari Teori Psiko-analisis :
Raden
Suria tingkah lakunya kebanyakan didominasi oleh unsur kepribadian yang disebut
id . Dorongan-dorongan perilakunya hanya berdasarkan prinsip kesenangan, selalu
ngotot dalam menginginkan sesuatu dan selalu mementingkan diri sendiri, adapun
rasa malu yang tidak dimilikinya adalah ketika dia menganggung-agungkan pangkat
derajatnya, dan ketika berniat menikah lagi dengan anak Haji Junaedi yang
bernama Fatimah melalui sebuah surat demi untuk mendapatkan harta kekayaan Haji
Junaedi supaya hutang-hutangnya lunas dan dia tetap bisa berfoya-foya. Dia
hanya mementingkan diri sendiri tanpa menghiraukan keadaan keluarganya termasuk
Istinya yaitu Zubaedah, dan pendidikan ketiga anak-anaknya yaitu Abdulhalim,
Agan Aleh dan Enah. Selain itu dorongan id yang sangat kuat adalah ketika Raden
suria menumpang di rumah anak sulungnya yang telah sukses dan telah berumah
tangga yaitu Abdulhalim, Raden Suria belaku seenaknya dan terus melakukan
kesenangan hidup dengan penuh kebanggaan yang selalu diceritakannya kepada
teman-temanya.
Sebagaimana
menurut teori Psiko-analisis unsur jika unsur id lebih kuat pada diri
seseorang, maka dalam lapisan tak sadar manusia terdapat id yang selalu
menginginkan pemuasan dan kesenangan. Itulah yang terjadi pada tokoh Suria
danpada akhirnya timbul konflik emosi dan kejiwaannya ketika istrinya Zubaedah
meninggal dunia setelah anaknya Abdulhalim mengungkap dengan gambalng semua
kepedihan hati ibunya karena ulah dirinya. Timbul kesadaran dan penyesalan,
namun dia tidak dapat menyelesaikan konflik batinnya karena semuanya sudah
terlambat dan pada akhirnya dia gagal keluar dari konflik emosi di dasar
jiwanya, kegagalan inilah yang di sebut neurosis atau penyakit syaraf yang pada
bagian akhir bab hal 221-223 mengungkapkan demikian :
.........
Ia terengah-engah, takut bercampur sedih, lalu terduduk di atas sebbuah
balai-balai,seorang diri, dirayu-rayu suara gaib yang memutuskan rangkai hati.
Makin
lama ia duduk demikian, ia pun makin gelisah. Tak senang diam. Aduhai...
Mata
terlayang ke kiri dan ke kanan,
.........................................................
Akan
tetapi bagi Suria Edan,
Sekaliannya
itu cibir-ejekan,
.........................................
.........................................
Rupanya
pemandangan dan seruan gaib itu menarik hatinya dan menggerakkan anggotanya
yang lemah-lesu itu akan berangkat......Dan sebagai bayang-bayang ia pun
berdiri pula, berjalan, sedang mulutnya bergerak menyebut-nyebut
perkataan,.............[7]
[1] Kamil
Sukron, Teori Kritik Sastra Arab Klasik & Modern, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2012, hal 60.
Kritik Sastra Psikoanalisa
Reviewed by Unknown
on
Rabu, Desember 28, 2016
Rating:
Tidak ada komentar:
Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada