Pertalian sastra antara Malaysia – Indonesia

Pengalaman sejarah dan nasa depan
Sastra Malaysia dan Indonesia mempunyai hubungan yang sangat dekat, bahkan bisa dikatakan hidup dalam satu induk bahasa, yaitu bahasa Melayu. Namun, pada tanggal 28 oktober 1928 Indonesia memutuskan untuk memisahkan diri dan membuat bahasa yang satu, yakni bahasa Indonesia, yang dipelopori dari pemuda melayu, salah satunya adalah Moh. Yamin.
Indonesia dikenal dengan para sastrawannya, bahkan hampir setiap daerah mempunyai karya sastra tersendiri, sebagai contoh di Aceh lahir sajak dari Syech Pantekolo, di Riau juga hadir dengan gurindam 12 oleh raja Ali Haji, dan masih banyak lagi. Bahkan sampai saat ini pun nama Ronggo Warsito (sastrawan Jawa) masih dikenang Nusantara.
Begitupun di malaysia, banyak buku-buku sastra Indonesia yang tersebar disana, diantaranya karya Hamka, Chairil Anwar, soekarno. “kalau kamu gak pergi ke Indonesia, kamu gak akan jadi penyair hebat” tutur Dato’ Dr. Ahmad Khamal/KEMALA (sastrawan asal Malaysia) kepada salah seorang muridnya. Beliau yang merupakan salah satu teman Hamzah Fansuri, seorang sufi yang tasawufnya amat tinggi nilainya, dan juga syair-syairnya.[1]
Susastra, yang banyak didapat dari tokoh-tokoh Jawa, di Aceh dan di Minangkabau. Pada abad ke-16 terjadi perang Aceh dan bersamaan dengan itu membawa batu nisan yang dibawa melalui selat-selat melayu, akhirnya sampai pada samudra pasai.
Dan pada saat itu banyak juga sastrawan diantaranya ada Anabel yang menerjemahkan surat-surat jawi, di Aceh terdapat surat kaleng, dan di Medan terdapat kampung kaleng, di minangkabau ada bondo kandung, itu semua merupakan hasil karya sastra pada saat itu.
Dan dengan terkenalnya sastrawan asal Indonesia sebut saja Choiril Anwar, di Malaysia, sampai sekarang  banyak ditemukan orang yang menggunakan nama Choiril Anwar, dengan harapan bisa seperti choiril Anwar. Namanya yang sampai saat ini masih dikenang, sesuai dengan salah satu bait puisinya pada puisi yang berjudul “AKU” yaitu “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”[2]
Pada tahun 1914, di Indonesia, balai pustaka menerbitkan karya sastra dari bahasa lokal, yakni bahasa sunda, karya baruang karunarora. Sebelum itu, pada tahun 1901 di gagaslah ejaan-ejaan kebahasaan, namun masih dalam bahasa melayu. Bahkan, penulisan sastra pada tahun 1947 terlihat masih pakai kata melayu, seperti “oe”. Contohnya “doeloe”, sebab pada masa itu kaidah bahasa yang ada, berbahasa melayu. Berbeda dengan sekarang yang sudah disempurnakan. Dan pada tahun 1920, sastra melayu Nusantara/klasik beralih ke sastra Modern.
Adanya sebuah kecenderungan dari masing-masing karya sastra, baik dari Malaysia dan Indonesia, meskipun asalnya sama-sama dari melayu. Dan itu semua dipengaruhi kultur budaya. Pada tahun 1998, ada Ayu Utami dan Saman.
Karya sastra Feminis yang terbit pada tahun 2000, di Indonesia terlalu Vulgar, dan yang menjadi sorotan adalah terkait relasi subyek dan obyek dalam studi perempuan. Sedangkan sastra Feminis Malaysia lebih dinamis, sama- sama melakukan satir namun lebih sopan, cenderung mengangkat sifat keterpujian perempuan.
Pada era kontemporer ini, banyak zongro-zongro. Dan baru-baru ini lahir zongro Islam Feminisme, yang ditulis dengan perempuan Islam. Menurut kacamata feminisme ada 2:
1.      Andogini, dimana perempuan dilihat dengan kacamata laki-laki, jadi perempuan terlihat negatif, seperti wewe gombel, kuntil anak, semuanya digolongkan ke jenis perempuan, tidak ada bapak gombel dll.
2.      Helensiko, dimana perempuan dilihat dari kacamata perempuan, jadi penulis dari perempuan sendiri.[3]


[1] Abdullah ahmad Kamal (KEMALA), sastrawan negeri Malaysia.
[2] Ismail siti Zainon,( penerima SEA write Award), Sastrawan Malaysia.
[3] Rodiah Ita, (Dosen FAH UIN Jakarta).
Reviewed by Unknown on Senin, Januari 02, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada

Diberdayakan oleh Blogger.