Karya Sastra: Mimemis, Realitas, atau Mitos?
Pendahuluan
Madzhab formalis
mengatakan, sastra bukanlah suatu kepercayaan, ilmu jiwa, atau ilmu sosial. Akan tetapi ia merupakan
pemakaian bahasa yang mempunyai peraturan khusus, baik dari segi struktur
maupun lainnya. Karya sastra bukanlah alat untuk menyampaikan ide-ide, refleksi
kenyataan yang terdapat dalam masyarakat, atau jelmaan dari nilai-nilai
kebenaran yang sukar untuk dipahami. Tetapi karya sastra adalah kenyataan itu
sendiri, dan keliru jika melihatnya sebagai ekspresi penulisnya (Atmazaki,
1990:17).
Madzhab
ini lebih mementingkan penerapan ilmu bahasa dalam pengkajian kesusastraan,
karena kajian mereka lebih terfokus kepada bentuk yang dipengaruhi linguistik
struktural dan melupakan isi karena isi menjadi pendorong terhadap bentuk, atau
bentuk adalah isi (pesan) itu sendiri. Karena itu, mereka melihat karya sastra
terdiri atas unsur-unsur atau fungsi-fungsi yang selalu berubah dan saling
berhubungan dalam suatu sistem tekstual, misalnya bunyi, irama, sajak, dan
lain-lain. Dengan demikian, menciptakan keganjilan bagi kaum formalis merupakan
inti dari kesusastraan.
Berbeda
dengan teori strukturalisme genetik yang digagas Lucien Goldmann. Teori ini
mengatakan, karya sastra merupakan sebuah struktur. Akan tetapi, struktur itu
bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah
yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan
dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan. Untuk menopang
teorinya, Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling bertalian satu
sama lain sehingga membentuk apa yang disebutnya sebagai strukturalisme
genetik. Kategori-kategori itu adalah fakta kemanusiaan, subyek kolektif,
strukturasi, pandangan dunia, pemahaman dan penjelasan (Faruk, 1999:12).
Strukturalisme
genetik (genetik artinya asal-usul karya sastra) merupakan sebuah pendekatan
dalam penelitian sastra yang lahir sebagai reaksi dari pendekatan
strukturalisme murni (formalis) yang anti-historis dan kausal. Atau, pendekatan
yang hanya memusatkan perhatiannya pada otonomi sastra sebagai karya fiksi.
Artinya, menyerahkan pemberian makna karya sastra tersebut terhadap eksistensi
karya sastra itu sendiri tanpa mengaitkan unsur yang ada di luar struktur
signifikansinya (Iswanto, 2001:61).
Dalam
sosiologi sastra, karya sastra dipandang sebagai dokumen sosial yang di
dalamnya menggambarkan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan. Atau, karya sastra merupakan
manifestasi dari kondisi sosial budaya dan peristiwa sejarah. Seperti yang
pernah dilakukan Wellek dan Werren, mereka mencoba merumuskan hubungan antara
sastra dan masyarakat yang dapat diteliti dengan cara; (a) faktor-faktor di
luar teks, dan (b) hubungan antara teks sastra dan masyarakat (Saraswati,
2003:10).
Kedua
paham di atas sesungguhnya bermuara dari persoalan memahami hakekat karya
sastra. Ada yang mengatakan bahwa karya sastra sebagai karya kreatif,
imajinatif, otonom, mimesis, dan sebagainya. Terlepas dari perdebatan di atas
para sastrawan sepakat menyatakan, bahwa salah satu sarana yang dapat
mempertemukan ide (gagasan, pikiran) dengan bahasa (aktivitas) sebagai media
adalah imajinasi. Imajinasi adalah daya bayang, daya fantasi, tetapi bukan
lamunan. Ia
tetap berpangkal dari kenyataan-kenyataan dan pengalaman-pengalaman. Imajinasi tidaklah sama dengan
realitas yang sesungguhnya (realitas obyektif). Ia bersifat intuitif yang
mengutamakan faktor rasa (Dahana, 2001:25).
Hidup
memang digerakkan oleh imajinasi, dibentuk oleh imajinasi, bahkan dirayakan
dengan imajinasi. Melalui imajinasi manusia memahami dan membentuk dirinya,
sesamanya, dan seluruh kehidupan ini. Tapi juga melalui imajinasi manusia
menghancurkan diri, membunuh manusia lainnya, dan merusak bumi. Melalui
imajinasi manusia mampu melihat yang tak terlihat, dan kehidupan menemukan
kiblat. Karena imajinasi, manusia marah, menangis, tertawa, dan bahagia. Dunia
manusia rupanya memang bukan dunia natural. Dunia manusia adalah dunia
kultural: dunia imaji, dunia citraan, dunia yang diimajinasikan (Tedjoworo,
2001:9).
Hakekat
Sastra
Secara
intuitif, memang sangat mudah mengethui apa yang disebut sastra. Namun deskripsi
dari pengertian yang ada pada pikiran kita itulah yang masih sulit dirumuskan
dalam bentuk kalimat yang tepat. Jika kita mencoba merumuskan definisi sastra
berdasarkan intuisi tersebut biasanya banyak gejala yang luput dari kalimat
yang kita susun. Sebagai contoh, merumuskan kata sastra saja
masih banyak perbedaan persepsi. Sastra, misalnya dalam bahasa
Sansekerta barasal dari kata sas yang berarti mengarahkan,
memberi petunjuk, atau instruksi, sedang tra berarti alat, atau sarana. Sedangkan sastra dalam
bahasa melayu, banyak diartikan sebagai tulisan. Pengertian ini
kemudian ditambah dengan kata su yang berarti indah, atau baik,
sehingga susastra bermakna tulisan yang indah (Teeuw,
2003:19-23).
Dalam
kamus bahasa Indonesia (1988;786), sastra berarti tulisan,
huruf, bacaan, dan karangan. Sastra juga
berarti bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam
kitab (bukan bahasa sehari-hari). Sastra dapat juga diartikan
sebagai kitab suci (Hindu), ilmu pengetahuan, pustaka,
primbon (berisi ramalan, hitungan dsb). Sedangkan kesusastraan berarti karya
tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain memiliki berbagai ciri
keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapan.
Dalam
bahasa Arab, sastra dikenal dengan istilah adab. Sedangkan kata adab itu
sendiri memiliki banyak makna sesuai dengan masa di mana kata tersebut
dipergunakan. Misalnya pada masa jahiliyah, orang Arab menggunakan kata adbun (bukan adab)
yang berarti undangan untuk menyantap makanan. Berbeda dengan masa shadrul Islam,
kata adab mencakup makna pendidikan lisan dan pendidikan budi
pekerti, serta menjahui kebiasaan yang tercela. Dan pada masa Bani Umayyah kata adab hanya
terfokus pada makna pengajaran (ta`lim).
Ada
para pakar yang membuat definisi sastra berdasarkan sifat karya sastra yang
imajinatif atau rekaan. Dengan demikian, rekaan menjadi criteria untuk
menggolongkan mana karya sastra yang disebut sastra, dan mana yang bukan
sastra. Di pihak lain ada yang mencoba merumuskan pengertian sastra dari sudut
hakekatnya sebagai karya kreatif. Namun jangan dilupakan bahwa batasan kreatif
dan tidak kreatif sama saja kaburnya dengan batasan antara sastra dan
non-sastra.
Walaupun
usaha mendefinisikan sastra sudah dilakukan oleh banyak ahli sastra, namun
batasan yang tepat mengenai apa hakekat sastra itu belum dapat dirumuskan.
Batasan-batasan yang ada seringkali hanya didasarkan pada aspek-aspek tertentu
sehingga masih terdapat kemungkinan untuk disanggah atau dipertanyakan. Hal
tersebut disebabkan karena adanya beberapa celah kelemahan atau terlalu
longgarnya batasan-batasan yang ada. Jadi definisi-definisi sastra yang ada,
pada umumnya masih bersifat parsial sehingga belum mampu memberikan gambaran
yang utuh mengenai hakekat sastra. Menurut Jan Van Luxemburg, keparsialan
definisi tersebut dapat digolongkan menjadi empat macam; 1) Sering dilupakan
antara definisi deskriptif mengenai sastra dengan definisi evaluatif yang
berkaitan dengan nilai, 2) Definisi yang ada bersifat ontologis, dan melupakan
definisi dalam situasi para pembaca sastra, 3) Definisi yang ada terlalu
menitikberatkan pada contoh sastra Barat, khususnya sejak zaman Renaisance tanpa
memperhitungkan sastra di luar zaman tersebut, dan 4) Definisi yang ada hanya
berkecendrungan dengan jenis-jenis sastra tertentu.
Merumuskan
pengertian atau hakekat sastra secara utuh memang sangat sulit. Namun demikian,
berdasarkan historis paling tidak secara umum dapat dirumuskan bahwa sastra
adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang
spontan dan mampu mengungkapkan aspek estetik, baik yang didasarkan pada aspek
kebahasaan maupun aspek makna. Patokan estetik inilah yang seringkali dijadikan
dasar penilaian pada sebuah teks sastra. Bahkan beberapa ahli sastra
beranggapan, bahwa suatu teks sastra dianggap berbobot atau tidak, itu
ditentukan oleh nilai estetik yang dikandungnya (Fananie, 2001:3).
Estetika
pertama kali digaungkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten, seorang filosof
rasionalis Jerman didefinisikan sebagai “pengetahuan tentang keindahan pada
alam dan seni”. Dalam perkembangan berikutnya, pandangan mengenai estetika dari
beberapa filosof berbeda-beda, karena mereka melihat estetika berdasarkan
perspektif yang berbeda pula. Di
satu pihak, mereka melihat estetika tidak lebih dari pada pengejawantahan
Tuhan. Karena hanya Tuhan-lah yang merupakan sumber keindahan. Tuhan adalah
Dzat Yang Maha Sempurna dan keindahan hanya ada dalam kesempurnaan. Homerus
misalnya, ia menjalin kekuatan Ilahi untuk menghadirkan refleksi estetik.
Itulah Muse, suatu cinta suci dan lembut mentransfigurasikan
manusia dalam alam menjadi bercahaya (Fananie, 2001:3).
Seperti
yang disampaikan Plato, bahwa keindahan mengacu kepada ide-ide dan
gagasan-gagasan. Dunia ide adalah dunia Ilahi. Jadi, keindahan mengacu kepada
dunia Tuhan. Hal ini disebabkan, sesuai dengan pandangan bahwa yang indah
adalah yang benar, karena kebenaran yang sejati hanya ada pada dunia Tuhan.
Kebenaran realitas selalu mengacu kepada dunia Tuhan tersebut. Sesuai dengan
sifatnya yang mengacu maka kebenaran realitas tidak akan pernah menyamai
kebenaran Tuhan. Karya seni adalah sesuatu yang selalu disepakati mengandung
keindahan. Seni identik dengan indah. Keindahan tersebut tidak akan pernah
sampai menyamai keindahan yang ada pada dunia Tuhan. Artinya, seniman hanya
meniru keindahan abadi, master yang ada pada dunia Tuhan (Atmazaki, 1990:89).
Berbeda
dengan Aristoteles, yang beranggapan bahwa keindahan suatu benda hakikatnya
tercermin dari keteraturan, kerapihan, keterukuran, dan keagungan. Keindahan
yang dicapai adalah keserasian bentuk (wujud) yang setinggi-tingginya. Bagi
Aristoteles, karya seni dinilai memiliki nilai keindahan yang lebih
dibandingkan keindahan yang terjadi di alam, meskipun tidak tertutup
terdapatnya karya seni yang lebih rendah daripada alam. Konsep mimesis
(peniruan alam) kemudian menjadi cirri utama estetika Yunani dalam percaturan
filsafat. Pendapat ini merupakan bias dalam menafsirkan pendapat arsitoteles.
Aristoteles justru menyatakan “tragedi” ketika manusia harus meniru alam, atau
meniru bentuk makhluk-makhluk di alam. Beberapa karya seni memang menunjukkan “imitasi”
alam yang membawa kebaikan, karena dibuat untuk memperbaiki sesuatu yang
dinilai buruk. Melalui seni, manusia harus mampu membuat sesuatu menjadi lebih
baik daripada yang sebenarnya. Menurut Aristoteles, cirri khas seni adalah
kemampuannya membedah alam dan mengupas esensinya. Seni adalah karya cipta yang
dibimbing oleh pikiran dalam arti yang sebenarnya, dan gagasan Aristoteles ini
dinilai sebagai gagasan estetika yang bernilai inspiratif dan membumi
dibandingkan estetika yang berorientasi pada kesadaran yang lebih tinggi
(Sachari, 2002:5).
Seni
juga berkaitan dengan masalah moral dan agama. Seperti yang diungkap Imam
al-Ghazali, bahwa efek yang ditimbulkan rasa seni terhadap jiwa manusia sangat
besar, dan karenanya menentukan moral dan penghayatan keagamaannya. Apabila
masalah estetika hanya dikaitkan dengan selera dan kesenangan sensual, atau
kesenangan inderawi, maka nilai seni itu merosot. Gagasan Baumgarten yang
memandang estetika sebagai pengetahuan mengenai pengamatan indera bertentangan
dengan tujuan ilmu yang sebenarnya. Bagi Gadamer tujuan pengetahuan yang
sebenarnya ialah menyerap kebenaran universal dan mengatasi subjektivitas.
Karena itu, pengetahuan, termasuk estetika tidak boleh ditentukan hanya oleh
kesenangan dan hasil pengamatan indera (Hadi, 2004:34).
Pendapat
lain mengatakan, keindahan itu tergantung kepada konvensi-konvensi suatu
masyarakat. Baik dari segi penciptaan, maupun dari segi penikmatan, dan
konvensi memainkan peranan utama dalam menentukan keindahan. Namun perlu
diketahui, bahwa konvensi selalu berubah sesuai dengan perubahan zaman.
Perubahan zaman membawa perubahan niali-nilai, termasuk nilai-nilai keindahan
itu sendiri. Jelasnya, kesepakatan suatu masyarakat tentang keindahan hari ini
menandakan adanya yang tidak indah lagi pada hari kemarin. Karena itu,
mendasari keindahan kepada konvensi berarti menempatkan keindahan pada
pertentangan antara yang lama dengan yang baru.
Secara
hirarki keindahan itu terbagi menjadi 3 macam, yaitu: 1) keindahan dalam arti
luas, 2) keindahan dalam arti estetik murni, dan 3) keindahan dalam arti
sederhana. Keindahan dalam arti luas adalah keindahan yang identik dengan
kebenaran, yang indah hanya yang mengandung kebenaran, dan yang mengandung
kebenaran pasti mempunyai nilai keindahan. Keindahan dalam arti estetik murni
yaitu menyangkut dengan pengalaman estetik seseorang, pengalaman yang
menyebabkan seseorang merasa lebur sewaktu berhadapan dengan keindahan itu
sehingga ia tidak menemukan lagi jarak antara dirinya dengan objek keindahan
itu. Sedangkan keindahan dalam arti sederhana menyangkut penerapan panca indera
secara lahir.
Hirarki
itu sebenarnya merupakan tahap yang dialami seseorang dalam persentuhannya
dengan keindahan. Pertama, keindahan itu melekat melalui panca indera. Kemudian
hal itu berkontemplasi karena keindahan itu mempengaruhi pengalaman dan
kesadaran jiwanya. Akhirnya
ia menemukan nilai dan kualitas kebenaran yang terkandung didalamnya (Atmazaki, 1990:90).
Dalam
visi estetika Jan Mukarovsky nilai estetika adalah sesuatu yang lahir dari
tegangan antara pembaca dan karya, bergantung pada aktivitas pembaca selaku
pemberi arti. Karena itu, nilai estetik adalah proses yang terus-menerus, bukan
perolehan yang tetap, sekali diperoleh tetap dimiliki. Visi inilah yang dapat
menjelaskan mengapa sebuah karya seni terus-menerus dapat memikat penikmat,
mengapa sebuah karya sastra yang baik dapat dinikmati kembali walaupun dibaca
untuk kesepuluh kali (Teeuw, 2003:294).
Selain
mengandung nilai estetika, karya sastra juga harus memiliki nilai moral dan
nilai yang bersifat konsepsional. Ketiga nilai tersebut tidak dapat dipisahkan.
Sesuatu yang estetis adalah sesuatu yang memiliki nilai-nilai moral, ia bukan
hanya semacam sopan santun atau etika belaka. Ia adalah nilai yang berpangkal
pada nilai-nilai tentang kemanusiaan. Demikian juga nilai yang bersifat
konsepsional, dasarnya adalah juga nilai tentang keindahan yang sekaligus
menerangkan nilai tentang moral (Esten, 1990:7).
Abdul
Aziz memberi satu batasan yang cukup komprehensip (jami`-mani`), bahwa
karya sastra ialah karya yang memiliki ciri kekhasan yang mutlak, yaitu
keindahan dan keartistikan. Karya-karya yang tidak mengandung nilai-nilai
keindahan dan keartistikan tidak dapat disebut sebagai karya sastra
(Al-Faishal, 1405:8). Juga seperti yang dikatakan Panuti Sudjiman, sastra
adalah karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti
keorsinilan, keartistikan, keindahan baik dalam isinya maupun ungkapannya
(Sudjiman, 1990:71).
Sekalipun
definisi sastra yang ada masih membuka peluang untuk diperdebatkan, namun
kiranya perlu untuk menentukan ciri-cirinya karena ia lebih urgen dari pada
membuat definisi yang holistik dan komprehensip. Ciri-ciri tersebut adalah
sebagai berikut:
Pertama,
sastra bukanlah suatu komunikasi yang praktis, yang isi dan maksudnya langsung
terlihat, tertangkap, dan terpahami manakala membaca atau mendengar sebuah
komunikasi seperti membaca buku-buku lainnya yang tidak bernama sastra. Dalam
sastra makna tersirat lebih dominan dari pada makna tersurat. Efek pengasingan
dalam sastra melambatkan pencerapan kita terhadap maknanya. Tetapi justru di
sana pula letak intensitas maknanya.
Kedua,
karya sastra adalah karya kreatif, bukan semata-mata imitatif. Kreatif dalam
sastra berarti ciptaan, dari tidak ada menjadi ada. Baik bentuk maupun makna
merupakan kreasi. Bahasa sebagai sistem primer menurut Jurij Lotman, seorang
ahli semiotika berkebangsaan Rusia, telah mempunyai makna sebelum disusun
menjadi sastra sebagai sistem sekunder. Kreatif dalam sastra juga berarti
pembaharuan. Teeuw menegaskan bahwa pemerkosaan dan pelanggaran konvensi adalah
sifat karya seni yang khas, malahan pada masa tertentu, hasil dan nilai sebuah
karya seni sebagian besar ditentukan oleh berjaya tidaknya dalam usaha
mendobrak dan merombak konvensi.
Ketiga, karya
sastra adalah karya yang imajinatif. Ia bukan representasi dari
kenyataan. Akan sia-sia bila mengharapkan dapat berjumpa dengan kehidupan
sebagaimana disajikan dalam karya sastra. Oleh karena imajinatif maka dengan
sendirinya ia juga bersifat subyektif, baik subyektif dalam penciptaan maupun
subyektif dalam pemahaman. Keselarasan yang ada dalam karya sastra tidak secara
otomatis berhubungan dengan keselarasan yang ada dalam masyarakat tempat sastra
itu lahir.
Keempat,
karya sastra adalah karya otonom. Karya sastra adalah karya yang hanya patuh
pada dirinya sendiri. Tentang otonomi karya sastra, sebagaimana ungkap Teeuw,
karya sastra atau karya seni pada umumnya merupakan keseluruhan yang bulat,
yang berdiri sendiri, yang otonom dan yang boleh dan harus kita pahami dan
tafsirkan pada sendirinya, sebuah dunia rekaan yang tugasnya hanya satu, patuh
setia pada dirinya sendiri. Tetapi pada pihak lain tidak ada karya seni mana
pun juga yang berfungsi dalam situasi kosong karena ia merupakan aktualisasi
tertentu dari sistem dan kode budaya.
Kelima,
karya sastra adalah karya yang kohern. Koherensi dalam karya sastra mengandung
arti tidak satu unsur pun yang tidak fungsional, walaupun hanya sebuah tanda
titik. Koherensi dalam karya sastra juga membedakannya dengan karya-karya
non-sastra. Dalam karya sastra setiap unsur mempunyai hubungan dengan unsur
lain. Begitu padunya hubungan itu, sehingga apabila ditukar letaknya, apalagi
diganti unsurnya maka keseluruhan karya itu akan kehilangan kekuatannya sebagai
karya sastra dan akan menimbulkan perubahan makna. Karena yang dipahami dalam
karya sastra bukan "meaning" melainkan makna
"significance".
Keenam,
konvensi suatu masyarakat amat menentukan mana karya yang dapat disebut sebagai
karya sastra, dan mana yang tidak. Karya sastra pada suatu masyarakat belum
tentu disebut sastra oleh masyarakat yang lain karena perbedaan konvensi yang
mereka anut. Karya sastra pada masa tertentu mungkin tidak dianggap karya
sastra pada masa berikutnya karena perubahan konvensi yang diakibatkan
perubahan tata nilai dalam kehidupan.
Ketujuh,
sastra tidak sekedar bahasa yang ditulis atau diciptakan, ia tidak sekedar
permainan bahasa. Akan tetapi ia adalah bahasa yang mengandung makna lebih. Ia
menawarkan nilai-nilai yang dapat memperkaya rohani dan meningkatkan mutu
kehidupan. Bahkan ia mampu memenuhi hasrat manusia untuk berkontemplasi
(Atmazaki, 1990:22-24).
Mimesis,
Realitas, atau Mitos?
Kalau karya sastra disebut
sebagai karya kreatif dari seorang pengarang, maka muncul satu pertanyaan,
apakah karya tersebut lahir begitu saja, ibarat hujan turun dari langit,
ataukah ada keterkaitan dengan kenyataan dan fenomena lain? Seorang filosof Yunani, Plato telah membicarakan
hubungan antara karya sastra dengan kenyataan dalam bukunya “Republic”. Buku
itu tidak semata-mata berisi uraian mengenai teori-teori sastra, tetapi juga
berisi tentang sikap dan pendiriannya mengenai sebuah negara ideal yang menjadi
obsesi dalam hidupnya.
Negara
ideal, dalam pandangan Plato, adalah negara yang mengacu kepada dunia ide, atau
dunia gagasan. Karena ide dan gagasan tersebut identik dengan kebenaran. Setiap
perbuatan manusia di negara ideal harus mengacu kepada kebenaran, sementara
kebenaran tertinggi hanya ada pada dunia ide, dunia Ilahi (Rapar, 1996:103).
Karya seni menurut Plato tidak dapat sampai ke dunia ide, ia hanya tiruan.
Sedangkan tiruan tidak pernah sama dengan yang ditiru. Dalam teorinya, Plato
menggunakan istilah mimesis, atau tiruan. Karya sastra meniru kenyataan,
sementara kenyataan sehari-hari hanyalah tiruan dari dunia ide yang merupakan kenyataan
tertinggi yang terletak pada dunia Ilahi. Para sastrawan hanya meniru kenyataan
sehari-hari yang merupakan tiruan pula dari dunia ide, dunia Ilahi. Puisi yang
diciptakan penyair hanyalah tiruan dari dunia nyata. Sebab itulah karya seni,
puisi misalnya, lebih rendah mutunya dari pada kenyataan sehari-hari karena ia
berada dua tingkat di bawah kenyataan tertinggi, yaitu dunia Ilahi.
Plato
membagi kenyataan menjadi tiga tingkatan. Pertama, kenyataan yang
tertinggi, yaitu kenyataan yang berada pada dunia ide, atau dunia Ilahi yang
langsung berhubungan dengan kebenaran hakiki. Yang benar dan yang baik hanya
ada pada dunia Ilahi. Kedua, kenyataan yang berada di bawah
kenyataan ideal, yaitu kenyataan sehari-hari. Kenyataan ini hanya meneladani
kenyataan hakiki. Sesuai dengan sifatnya, yaitu meneladani, maka kenyataan
kedua ini tidak dapat sepenuhnya dipercaya. Ketiga, kenyataan imajinatif yang
menjelma dalam bentuk karya seni. Karya seni tidak langsung berhubungan dengan
kenyataan hakiki, tetapi meneladani kenyataan sehari-hari atau kenyataan kedua
(Atmazaki, 1990:40).
Walaupun
Plato menempatkan karya seni pada tataran ketiga, bukan berarti karya tersebut
tidak bernilai sama sekali. Plato tetap memberi tempat dalam negara ideal untuk
karya seni dan untuk seniman, asal dipenuhi beberapa syarat. Di antaranya, seni
yang bermanfaat adalah seni yang berlandaskan moral yang baik, maka seorang
seniman harus bermoral. Seni
harus benar (setepat mungkin) menggambarkan sesuatu dan tema seni harus
mengekspresikan hal-hal yang baik.
Pandangan Plato di atas mendapat
tantangan keras dari muridnya, adalah Aristoteles. Bagi dia karya seni tidak
semata-mata tiruan dari kenyataan sehari-hari. Seniman tidak menyampaikan
kenyataan sehari-hari sebagaimana adanya. Akan tetapi karya seni adalah
kenyataan artistik, yang diciptakan dalam suatu proses kreatif. Tidak disangkal
bahwa kenyataan dalam karya seni bersumber dari kenyataan sehari-hari, tetapi
kenyataan dalam karya seni telah menampilkan kenyataan baru berdasarkan
kesanggupan seniman mengolah dan memadukan imajinasi dan kenyataan.
Kebenaran karya seni tidak perlu
diukur dengan kebenaran yang ada dalam kenyataan sehari-hari. Karena kebenaran
yang ada dalam karya seni adalah kebenaran dalam rangka keseluruhan karya yang
imajinatif.
Imajinasi
merupakan wilayah khusus, daerah otonom, yang tidak perlu dicocok-cocokkan
dengan kenyataan. Walaupun sesuatu bersifat imajinatif tetapi ia tidak harus
irrasional. Sesuatu yang bersifat imajinatif boleh jadi terjadi dalam kehidupan
nyata, karena bagaimanapun juga karya sastra merupakan refleksi kehidupan
manusia. Sebagai sebuah kreasi imajinasi, karya sastra memang tidak mampu
menegakkan diri menjadi salah satu pusat legitimasi persoalan-persoalan sosial
atau proses-proses institusional masyarakat yang memilikinya. Ia menjadi dusta
jika kita memaksakan kategori-kategori logis yang umum padanya. Bahkan ia
menjadi nonsens andaikata kita meminta penjelasan
rasional-ilmiah kepadanya tentang berbagai persoalan keseharian (Dahana,
2001:25).
Mimesis
dalam pandangan Aristoteles lebih luas dari pada Plato. Bagi Aristoteles yang
penting dalam karya seni adalah sejauh mana ia mampu memperlihatkan kenyataan
baru yang dapat memperluas cakrawala manusia tentang kenyataan yang dihadapinya
sehari-hari. Aristoteles justru meletakkan karya seni di atas kenyataan
fenomenal. Kerja seorang penyair lebih berharga dari pada kerja seorang tukang.
Karya seni membuat manusia menyadari keberadaannya sebagai manusia yang
mempunyai akal, pikiran, dan perasaan.
Karena
itu, seperti yang diungkap Ekarini, pemikiran Aristoteles tentang karya sastra
mencakup beberapa konsep; pertama, seni sebagai penyucian jiwa
lewat satu proses yang disebut katharsis (penyucian).Kedua, seniman
menciptakan dunianya sendiri. Penyair tidak meniru kenyataan, melainkan
mencipta dunianya sendiri dengan probability. Ketiga, seniman lebih
tinggi dari pada tukang. Dan keempat, karya seni merupakan sarana
pengetahuan (Ekarini, 2003: 23).
Kemampuan
berimajinasi merupakan kemampuan kreatif pengarang. Kreatifitas pengarang
memungkinkan munculnya unsur fiksionalitas dalam karya sastra. Seseorang
pengarang tidak mungkin berimajinasi kalau tidak ada yang melandasinya, yaitu
kenyataan fenomenal. Tidak akan ada imajinasi tanpa kenyataan, dan tidak akan
ada peneladanan tanpa imajinasi. Kehidupan manusia senantiasa berada antara
kenyataan dan impian (Atmazaki, 1990:41).
Antara
mimesis dan kreativitas yang melahirkan unsur fiksionalitas dalam karya sastra
tidak dapat dipisahkan. Karya sastra adalah dunia fiksi yang bertolak dari
kenyataan. Tidak ada karya sastra yang sepenuhnya meneladani kenyataan, di
samping juga tidak ada yang sepenuhnya fiksi. Apabila karya sastra sepenuhnya
kenyataan maka ia akan berubah menjadi karya sejarah, dan apabila sepenuhnya
fiksi maka tidak akan ada seorang pun yang mampu memahaminya. Karena itu,
keterpaduan antara mimesis dan kreativitas pengarang dalam menciptakan karya
sastra menentukan keberhasilan sebuah karya sastra.
Dari
sisi bahasa, kaitan antara mimesis dan kreativitas juga memperlihatkan hubungan
dialektika. Bahasa yang terdiri atas urutan kata, yang digunakan sehari-hari
tidak merupakan pelahiran kenyataan semata tanpa diwarnai oleh unsur fiksi,
imajinasi, atau fantasi. Makna yang dikandungnya tidak secara langsung merujuk
kepada kenyataan, walaupun juga tidak dapat terlepas dari unsur kenyataan.
Bahasa, termasuk sastra bukanlah representasi dari kenyataan, tetapi juga tidak
fantasi belaka, melainkan alat yang secara konseptual didasarkan atas
pengetahuan dan pengalaman.
Kenyataan
bagi manusia tidaklah murni, tetapi dipengaruhi oleh wawasannya yang telah
terkonstruksi oleh alam. Kenyataan bagi manusia selalu diarahkan oleh
norma-norma, sistem, ideologi, pengetahuan, pengalaman, konvensi, dan aturan
yang berbeda–beda pada setiap masyarakat, dan yang mungkin akan berubah
sepanjang zaman. Jadi, manusia tidak menerima kenyataan sebagai kenyataan,
tetapi kenyataan sebagai ditafsirkan.
Sejak
zaman klasik karya sastra hanya meniru dan meneladani ciptaan Tuhan, sehingga
ia berada di bawah ciptaan-Nya, maka bermulalah keagungan pengarang
ditonjolkan. Secara berangsur-angsur pengarang dianggapnya sebagai manusia
genius, sebagai manusia super, dan semakin mendapat tempat. Aristoteles
mengatakan, pengarang tidak sekedar meniru sebagaimana dikatakan Plato. Tetapi
ciptaan Tuhan hanya sekedar tempat bertolak. Pengarang justru menciptakan
kenyataan baru berdasarkan kenyataan objektif. Daya khayal dan kreativitas
pengarang telah mampu menciptakan kenyataan yang lebih kurang terlepas dari
kenyataan alami. Akhirnya sampai ke tahap yang paling “lancang”, yaitu dengan
menyebutkan bahwa pengarang sebagai pencipta telah menyamai Tuhan. Tuhan tidak
lagi dianggap sebagai Yang Maha Pencipta. Pengarang dianggap sebagai pencipta
yang menciptakan karya dari kekosongan, tanpa meniru ciptaan Tuhan, tanpa ada
yang diteladani.
Dalam
tradisi masyarakat jahili, mereka menganggap para penyair itu memiliki
pengetahuan magis, bahkan menurut Ahmad Amin, mereka disebut sebagai ahlul
ma`rifah (Ahmad Amin, 1975:55), karena mereka mampu memprediksi apa
yang akan terjadi. Dengan demikian, karya sastra bagi masyarakat jahili bukan
untaian kata-kata yang disuarakan lisan tanpa makna (absurd) melainkan
sebagai sarana (sakral) yang ampuh untuk membakar semangat, meredam
emosi, dan membawa harum nama kabilah. Barangkali kelancangan inilah yang
menyebabkan Tuhan menyatakan dalam al-Qur`an, surat Al-Syu’ara’ ayat 224 bahwa
penyair adalah orang yang sesat, karena tidak ada yang lebih lancang dari
mengatakan lebih dari Tuhan. Keegoan seperti ini telah merajalela selama
berabad-abad di Eropa yang mencapai puncaknya pada zaman Romantik, akhir abad
ke-18. Pada zaman ini, individualitas, orisinalitas, dan kreativitas mendapat
tempat yang paling tinggi.
Mimesis
adalah hak preogatif Tuhan, hanya Tuhan yang boleh membuat tiruan, atau mitasi.
Manusia adalah contoh paling konkrit dari tiruan ini, sebab seperti tertulis
dalam Genesis, Tuhan menciptakan manusia sesuai dengan citra-Nya. Mengutip
Manneke, dalam pengertian mimesis yang dikedepankan Plato, Tuhan merupakan
realitas tertinggi dan bersifat abstrak, sementara realitas material yang
inderawi adalah realitas sekunder yang sesungguhnya merupakan imitasi dari yang
ideal. Seni, termasuk tulisan dipandang rendah nilainya karena merupakan tiruan
dari tiruan. Sedangkan di dalam Perjanjian Lama, tulisan pertama-tama bukanlah
suatu tiruan, melainkan merupakan sebuah tanda yang bersifat metonimis. Manusia
melalui upayanya sendiri tidak mampu menghadirkan Tuhan dalam tulisan, kecuali
atas kehendak dan perintah Tuhan sendiri. Oleh sebab itu, ada larangan untuk
mensakralkan atau menyembah segala sesuatu yang diciptakan manusia atau
mengasumsikan kehadiran Tuhan dalam karya-karya cipta itu. Bahkan secara lebih
tegas lagi, Tuhan melarang manusia untuk melakukan peniruan dalam bentuk apa
pun terhadap apa pun yang ada di alam ini, kecuali, sekali lagi, atas
perintah-Nya (Junus, 1981:106).
Sementara
Umar Junus berpendapat lain, setiap karya satra adalah mitos (norma, ideologi,
konvensi, dan lain lain), mungkin mitos pengukuhan, mungkin pula mitos
pembebasan, atau kontra mitos. Apabila karya sastra membenarkan mitos yang ada
dalam karya sebelumnya, atau mitos yang hidup dalam masyarakat maka karya
sastra itu disebut membawa mitos pengukuhan. Sebaliknya, apabila karya sastra
menentang mitos yang sudah ada maka karya sastra tersebut membawa mitos
pembebasan, dan dengan sendirinya ia membawa, atau membuat mitos baru sehingga
terjadi kontra mitos (Junus, 1981:74).
Karya
sastra sesungguhnya berakar dari masa prasejarah dalam wujud sastra lisan dan
bentuk-bentuk mitos. Sebagaimana diungkap Richard Chase, mitos adalah karya
sastra yang harus dipahami sebagai kreasi estetik dari imajinsai manusia.
Pengertian mitos sebagai seni sastra berkaitan dengan fungsi primer mitos dalam
pemikiran manusia sebelum munculnya bidang-bidang lain, seperti religi,
ekonomi, teologi, dan lainnya. Sebagai ekspresi kesenian, mitos mengungkapkan
kekuatan magis impersonal yang mengacu kepada pengalaman akan hal-hal yang luar
biasa indah, menakutkan, dan bahkan mengagumkan (Chase, 1969:70).
Dalam pandangan Vickery, mitos membentuk acuan, dan
dari acuan itu muncul sastra yang bersifat psikologis, histories, simbolis,
ekspresif, dan impresif. Elemen-elemen kesusasteraan, seperti alur, tema,
perwtakan, dan citraan pada umumnya ditemukan di dalam mitos dan cerita-cerita
rakyat. Mitos merangsang penciptaan seni, dan lebih dari itu, ia menawarkan
konsep dan pola-pola kritik yang dapat dimanfaatkan untuk menginterpretasi
karya sastra. Dengan demikian, pengetahuan mengenai tata bahasa mitos akan
dapat memberikan pemahaman yang lebih utuh dalam membaca dan memahami karya
sastra (Vickery, 1982:83).
Memang
sulit menentukan, apakah karya sastra sebuah mitos atau kenyataan. Pada
kenyataannya di tengah masyarakat, jika peristiwa yang ada dalam karya sastra
sesuai dengan sistim ideologi yang mereka anut maka mereka akan menyukainya.
Dan sebaliknya, jika peristiwa itu tidak sesuai maka mereka tidak menyukainya.
Sebenarnya, bila dipikir secara rasional, tidak perlu membenci atau tidak
membenci sebuah karya sastra, kalau karya itu dianggap sebuah khayal. Namun
begitulah kenyataan masyarakat penikmat karya sastra.
Dan
tidak bisa dielak, sesungguhnya kehidupan manusia, dan dengan sendirinya
hubungan antar manusia dikuasai mitos-mitos. Sikap kita terhadap sesuatu
ditentukan mitos yang ada dalam diri kita. Mitos ini menyebabkan kita
menyukainya, atau membencinya. Dengan demikian, mitos akan meyebabkan kita
mempunyai prasangka tertentu terhadap sesuatu hal yang dinyatakan dalam mitos.
Hanya lewat persentuhan diri kita dengan hal tertentu tadi kita dapat
mengetahui kebenaran, ataukah kesalahan dari mitos tadi. Persentuhan ini
mungkin dapat memperkuat mitos itu, atau mungkin pula dapat meniadakannya.
Memang
tidak mungkin ada kehidupan tanpa mitos. Kita hidup dengan mitos-mitos yang
membatasi segala tindak-tanduk kita. Ketakutan atau keberanian kita terhadap
sesuatu ditentukan oleh mitos-mitos yang kita hidup bersamanya. Manusia tidak
dapat memisahkan antara mitos dan kenyataan. Mereka hidup di antara
keduanya. Dalam kenyataan sehari-hari manusia menemukan mitos, dan sebaliknya
di dalam mitos mereka menemukan kenyataan. Demikian pula keberadaan karya
sastra, ia adalah sebuah mitos sekaligus adalah kenyataan.
Penutup
Karya
sastra adalah karya lisan atau tulisan yang memiliki ciri mutlak, yaitu
keorsinilan, keartistikan, keindahan, baik isinya maupun ungkapannya. Ia adalah
karya kreatif, bukan semata-mata imitatif. Kreatif dalam sastra berarti
ciptaan, dari tidak ada menjadi ada, baik bentuk maupun makna. Karya sastra
adalah dunia fiksi yang bertolak dari kenyataan. Tidak ada karya sastra yang
sepenuhnya meneladani kenyataan, di samping juga tidak ada yang sepenuhnya
fiksi. Jika karya sastra sepenuhnya kenyataan ia akan berubah menjadi karya
sejarah, dan Jika sepenuhnya fiksi, maka tidak ada seorangpun yang mampu
memahaminya. Karena itu, keterpaduan mimesis dan kreativitas pengarang untuk
membentuk kenyataan baru sangat menentukan nilai sebuah karya sastra.R
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Faishal,
Abd al-Aziz bin Muhammad. 1405 H. Al-Adab
al-`Arabi Wa Tarikhuhu. Riyadh: al-Mamlakah al-`Arabiyah al-Su`udiyah.
Al-Khafaji,
M. Mun`im. 1996. Al-Syi`r al-Jahili. Libanon: Dar al-Kuttab.
Amin,
Ahmad. 1975. Fajr al-Islam. Tanpa Tempat: Tanpa Penerbit.
Atmazaki.
1990. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.
Budiman,
Manneke. 1995. ”Tuhan dalam Mimesis: Representasi Tuhan dalam Paradiso dan
Bhagavadgita”,dalam Jurnal Ulumul Qur`an, Nomor 2, Volume VI.
Chase,
Richard. 1969. “Notes on the Study Myth”, dalam John. B.
Vickery, Myth and Literature. Lincoln: University of Nebraska
Press.
Dahana,
Rahdar Panca. 2001. Kebenaran dan Dusta dalam Sastra. Magelang:
Indonesiatera.
Esten,
Mursal. 1990. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung:
Angkasa.
Fananie,
Zainuddin. 2001. Telaah Sastra. Surakarta: UMS Press.
Faruk.
1999. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai
Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hadi
W.M, Abdul. 2004. Hermeneutika, Estetika dan Religiusitas.
Yogyakarta: Mahatari.
Iswanto.
2001. Penelitian Sastra dalam Perspektif Struktur Genetik, dalam
Jabrohim, "Metodologi Penelitian Sastra". Yogyakarta:
Hanindita Graha Widia.
Junus,
Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.
Rapar,
Jan Hendrik. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Sachari,
Agus. 2002. Estetika: Makna, Simbol dan Daya. Bandung: ITB.
Saraswati,
Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra: Sebuah Pemahaman Awal. Malang:
UMM Press.
Sudjiman,
Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Tedjoworo,
H. 2001. Imaji dan Imajinasi: Suatu Telaah Filsafat Postmodern.
Yogyakarta: Kanisius.
Teeuw,
A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya.
Vickery, John. B. 1982. “Literature
and Myth”, dalam Jean Pierre Barricelli dan Joseph Gibaldi (Ed),Interrelations
of Literature. (New York: The Modern Language Association of America
http://jurnallingua.com/edisi-2007/6-vol-1-no-1/44-karya-sastra-mimesis-realitas-atau-mitos.htm
http://jurnallingua.com/edisi-2007/6-vol-1-no-1/44-karya-sastra-mimesis-realitas-atau-mitos.htm
Karya Sastra: Mimemis, Realitas, atau Mitos?
Reviewed by Unknown
on
Selasa, Desember 27, 2016
Rating:
Tidak ada komentar:
Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada