Strukturalisme Dalam Puisi Arab
STRUKTURALISME
DALAM PUISI ARAB
Dari
Klasik Hingga Modern
Sejarah Perkembangan
Strukturalisme
Strukturalisme muncul sekitar paruh
kedua abad ke-20 dan berkembang menjadi salah satu pendekatan yang paling
populer di bidang akademik berkaitan dengan analisis bahasa, budaya, dan
masyarakat. Aktivitas Ferdinand de Saussure yang menggeluti bidang
linguistik inilah yang dianggap sebagai titik awal dari
strukturalisme. Teori Strukturalis berkembang melalui dua
tahapan yaitu formalisme dan strukturalisme dinamik. Meskipun demikian, dalam
perkembangan tersebut juga terkandung ciri-ciri khas dan tradisi intelektual
yang secara langsung merupakan akibat perkembangan strukturalisme.
Sejak awal abad ke-20 teori sastra berkembang
dengan pesat, perkembangan ini sejajar dengan terjadinya kompleksitas kehidupan
manusia yang juga memicu perkembangan genre sastra. Fungsi
utama karya sastra adalah untuk melukiskan, mencerminkan kehidupan manusia,
sedangkan kehidupan manusia itu sendiri selalu mengalami perkembangan. Dalam
hubungan inilah diperlukan genre yang berbeda dan diperlukan
teori yang berbeda untuk memahaminya.
Sejarah strukturalisme, demikain juga
sejarah teori pada umumnya adalah sejarah proses intelektualitas. Sejarah tersebut
dibangun atas dasar kekuatan evolusi sekaligus rebolusi. Perkembangan teori
tidak cukup dibangun atas dasar akumulasi konsep, metode, dan berbagai
pandangan dunia lainnya, melainkan juga memerlukan perubahan secara radikal
yang pada gilirannya memicu proses percepatan lahirnya teori-teori baru (Kuhn
dalam Penelitian Sastra, Kutha Ratna 2008: 89). Walaupun strukturalisme
berhubungan dengan formalisme Rusia dan strukturalisme lahir karena
ketidakpuasan juga kritik atas formalisme, namun strukturalime pada umumnya
diasosiasikan dengan pemikiran Perancis tahun 1960-an, yang sebagian besar
dhubungkan dengan etnografi Levi-Strauss, juga pemikiran Roland Barthes, dll
yang sebagian besar masuk dalam teori postrukturalis.[1]
Pengertian
Kritik Sastra Struktural adalah kritik objektik yang menekankan aspek
instrinsik karya sastra, di mana yang menentukan estetikanya tidak saja
estetika estetika bahasa yang digunakan, tetapi juga relasi antar unsur. Unsur-unsur
itu dilihat sebagai sebuah artefak (benda seni) yang terdiri dari berbagai
unsur. Puisi terdiri dari tema, plot, latar, tokoh, dan gaya bahasa, imajinasi
atau gaya bayang, ritme atau irama (matra[bahr/wazan dalam puisi tradisional
Arab]), rima atau persajakan (qafiyah dalam puisi Arab tradisional),
diksi atau pilihan kata, simbol, dan enjambemen (sambung-menyambungnya
baris atau larik seperti qasidah yang barisnya dua sejajar atau ruba’iyyat
yang barisnya empat dengan tersusun ke bawah). Semua unsur-unsur itu dilihat
teori strukturalisme jalin menjalin dengan rapi yang memiliki interrelasi dan
saling ketergantungan (interrelation and mutual dependencies).[2]
Pokok-Pokok Pembahasan
Strukturalisme termasuk dalam teori kebudayaan yang
idealistik karena strukturalisme mengkaji pikiran-pikiran yang terjadi dalam
diri manusia. Strukturalisme menganalisa proses berfikir manusia dari mulai
konsep hingga munculnya simbol-simbol atau tanda-tanda (termasuk didalmnya
upacara-upacara, tanda-tanda kemiliteran dan sebagainya) sehingga membentuk
sistem bahasa. Bahasa yang diungkapkan dalam percakapan sehari-hari juga
mengenai proses kehidupan yang ada dalam kehidupan manusia, dianalisa
berdasarkan strukturnya melalui petanda dan penanda, langue dan parole,
sintagmatik dan paradikmatik serta diakronis dan sinkronis. Semua realitas
sosial dapat dianalisa berdasarkan analisa struktural yang tidak terlepas dari
kebahasaan.
Modal budaya memiliki beberapa dimensi, yaitu:
a)
Pengetahuan
obyektif tentang seni dan budaya
b)
Cita rasa
budaya (cultural taste) dan preferensi
c)
Kualifikasi-kualifikasi
formal (seperti gelas-gelar universitas)
d)
Kemampuan-kemampuan
budayawi dan pengetahuan praktis.
e)
Kemampuan
untuk dibedakan dan untuk membuat perbedaan antara yang baik dan buruk.
Dalam
memahami kebudayaan kita tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip dasarnya. de
Saussure merumuskan setidaknya ada tiga prinsip dasar yang penting dalam
memahami kebudayaan, yaitu:
1.
Tanda (dalam
bahasa) terdiri atas yang menandai (significant/signifier, penanda) dan yang
ditandai (signifié/signified, petanda). Penanda adalah citra bunyi sedangkan
petanda adalah gagasan atau konsep. Hal ini menunjukkan bahwa setidaknya konsep
bunyi terdiri atas tiga komponen (1) artikulasi kedua bibir, (2) pelepasan
udara yang keluar secara mendadak, dan (3) pita suara yang tidak bergetar.
2.
Gagasan
penting yang berhubungan dengan tanda menurut Saussure adalah tidak adanya
acuan ke realitas obyektif. Tanda tidak mempunyai nomenclature. Untuk memahami
makna maka terdapat dua cara, yaitu, pertama, makna tanda ditentukan oleh pertalian
antara satu tanda dengan semua tanda lainnya yang digunakan dan cara kedua
karena merupakan unsur dari batin manusia, atau terekam sebagai kode dalam
ingatan manusia, menentukan bagaimana unsur-unsur realitas obyektif diberikan
signifikasi atau kebermaknaan sesuai dengan konsep yang terekam.
3.
Permasalahan yang selalu kembali dalam mengkaji masyarakat
dan kebudayaan adalah hubungan antara individu dan masyarakat. Untuk bahasa,
menurut Saussure ada langue dan parole (bahasa dan tuturan). Langue adalah
pengetahuan dan kemampuan bahasa yang bersifat kolektif, yang dihayati bersama
oleh semua warga masyarakat; parole adalah perwujudan langue pada individu.
Melalui individu direalisasi tuturan yang mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku
secara kolektif, karena kalau tidak, komunikasi tidak akan berlangsung secara
lancar.[3]
Tokoh
1.
Levi-Strauss
Levi-Strauss
menciptakan suatu teori yang memusatkan pada struktur linguistik (Ritzer, 2004
: 603). Teori ini sebenarnya lebih terkenal sebagai teori Antropologi, tetapi
dalam perkembangannya juga dimasukkan dalam teori Sosiologi. Strukturalisme
memberikan perspektif baru dalam memandang fenomena budaya. Hal-hal yang
tadinya dianggap sederhana dan tidak penting, justru memiliki peran yang sangat
penting dalam menemukan dan memahami gejala sosial budaya, misalnya adalah
bagaimana kita mungkin bisa memahami suatu fenomena sosial dengan menggunakan
analisis sebagaimana para ahli Linguistik memahami bahasa.
2.
Ferdinand de Saussure
Gagasan yang paling mendasar dari de Saussure adalah
sebagai berikut:
1) Diakronis dan sinkronis: penelitian suatu bidang
ilmu tidak hanya dapat dilakukan secara diakronis (menurut perkembangannya)
melainkan juga secara sinkronis (penelitian dilakukan terhadap unsur-unsur
struktur yang sezaman)
2) Langue dan parole: langue adalah penelitian bahasa
yang mengandung kaidah-kaidah, telah menjadi milik masyarakat, dan telah
menjadi konvensi. Sementara parole adalah penelitian terhadap ujaran yang
dihasilkan secara individual.
3) Sintagmatik dan Paradikmatik (asosiatif):
sintagmatik adalah hubungan antara unsur yang berurutan (struktur) dan
paradikmatik adalah hubungan antara unsur yang hadir dan yang tidak hadir, dan
dapat saling menggantikan, bersifat asosiatif (sistem).
Penanda dan Petanda: Saussure menampilkan tiga istilah
dalam teori ini, yaitu tanda bahasa (sign), penanda (signifier) dan petanda
(signified). Menurutnya setiap tanda bahasa mempunyai dua sisi yang tidak
terpisahkan yaitu penanda (imaji bunyi) dan petanda (konsep).
Sebagai contoh kalau kita mendengan kata rumah langsung
tergambar dalam pikiran kita konsep rumah.
3.
Pierre Bourdieu
Terdapat 3 konsep penting dalam pemikiran Bourdieu
yaitu Habitus, Field dan Modal. Berikut ini akan dibahas ketiga konsep tersebut
dan akan dijelaskan interaksi ketiga konsep ini dalam masyarakat. Habitus
adalah “struktur mental atau kognitif” yang digunakan aktor untuk menghadapi
kehidupan sosial. Setiap aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang
diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari,
dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah aktor memproduksi tindakan
mereka dan juga menilainya.
Secara dialektis habitus adalah ”produk internalisasi
struktur” dunia sosial. Atau dengan kata lain habitus dilihat sebagai ”struktur
sosial yang diinternalisasikan yang diwujudkan”. Habitus mencerminkan pembagian
obyektif dalam struktur kelas seperti umur, jenis kelamin, kelompok dan kelas
sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan
sosial diduduki. Habitus berbeda-beda pada setiap orang tergantung pada wujud
posisi seseorang dalam kehidupan sosial; tidak setiap orang sama kebiasaannya;
orang yang menduduki posisi yang sama dalam kehidupan sosial, cenderung
mempunyai kebiasaan yang sama. Habitus lebih didasarkan pada keputusan
impulsif, dimana seorang individu bereaksi secara efisien dalam semua aspek
kehidupan. Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Disatu
pihak habitus adalah struktur yang menstruktur artinya habitus adalah sebuah
struktur yang menstruktur kehidupan sosial. Dilain pihak habitus adalah
struktur yang terstruktur, yaitu habitus adalah struktur yang distruktur oleh
dunia sosial.
Habitus menjadi konsep penting baginya dalam
mendamaikan ide tentang struktur dengan ide tentang praktek. Ia berusaha
mengkonsepkan kebiasaan dalam berbagai cara,yaitu:
1)
Sebagai kecenderungan-kecenderungan empiris untuk
bertindak dalam cara-cara yang khusus (gaya hidup).
2)
Sebagai motivasi, preferensi, cita rasa atau perasaan
(emosi).
3)
Sebagai perilaku yang mendarah daging.
4)
Sebagai suatu pandangan tentang dunia (kosmologi).
5)
Sebagai keterampilan dan kemampuan sosial praktis.
Cara
Kerja
CINTAKU
JAUH DI PULAU
Karya:
Chairil Anwar
Cintaku
jauh di pulau
Gadis
manis, sekarang iseng sendiri.
Perahu melancar, bulan
memancar,
Di leher kukalungkan
ole-ole buat sipacar,
Angin membantu, laut
terang, tapi terasa
Aku tidak akan sampai
padanya.
Di
air yang terang, di angin yang mendayu,
Di
perasaan penghabisan segala melaju
Ajal
bertahta, sambil berkata:
‘Tujukan
perahu ke pangkuanku saja’
Amboi ! Jangan sudah
bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama kan
merapuh!
Mengapa Ajal memanggil
dulu
Sebelum
sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku
jauh di pulau,
Kalau
‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
ANALISIS:
Dari sajak diatas mengemukakan usaha si
aku yang akan mencapai cita yang diidam-idamkan, yang dikisahkan sebagai gadis
manis (pacarnya) yang berada di sebuah pulau yang jauh. Meskipun keadaan
berjalan dengan baik, perjalanan lancar: bulan memancar, perahu melancar, dan
angin membantu bertiup dari buritan, namun si aku merasa bahwa ia tak akan
dapat mencapai gadis manis pacarnya yang dicita-citakan itu. Hal ini diseabkan
oleh perasaan bahwa ajal akan lebih dahulu mencekamnya. Dengan demikian,
meskipun segala usaha yang menghabiskan tenaga dan memakan waktu bertahun-tahun
itu, akan sia-sia saja. Ini merupakan ketragisan hidup dan nasib manusia.
Dalam sajak ini ada koherensi atau
pertautan yang erat antara unsure-unsurnya, satuan-satuan bermaknanya. Ada
kesatuan imaji. Imaji percintaan: cintaku, gadis manis, si pacar, ole-ole.
Sesuai dengan itu suasananya romantik: laut terang, perahu melancar, bulan
memencar, dan kata kerja: berpelukan (dengan cintaku). Latarnya laut, maka
objek-objeknya: perahu melancar, bulan memencar, angin membantu, laut terang,
air yang terang, angin mendayu. Di tengah laut luas yang penuh bahaya,
kehadiran maut (ajal) itu sangat terasa dan perjalanan laut yang jauh
memerlukan waktu bertahun.
Sedangkan dalam pemilihan kata dan bunyi
memiliki keterkaitan yang sangat kuat makna. Terdapat aliterasi yang runtut:
melancar, memancar, si pacar, serta ulangan bunyi/dalam: melancar, bulan,
leher, ole-ole, kukalungkan, semua itu member intensitas arti/makna romantis,
menyenangkan, berjalan dengan tanpa halangan dalam bait kedua.
Begitu juga dalam bait ketiga dan keempat,
suasana yang berkebalikan dengan bait kedua, yaitu suasana murung, sedih, dan
putus asa, maknanya diperkuat oleh bunyi vokal a dan u yang dominan (yang
sesuai untuk mengungkapkan kesedihan), lebih-lebih dalam kata-kata: mendayu,
penghabisan, melaju, ajal bertahta, bertahun kutempuh, perahu merapuh, ajal
memanggil dulu, sebelum sempat berpeluk dengan cintaku. Jadi, antara bunyi,
pemilihan kata, frase, kalimat ada persamaan, semuanya memperbesar jaringan
efek puitisnya.
Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh
Roman Jakobson(1978:356) bahwa fungsi puitik itu memproyeksikan prinsip
ekuivalen dari poros pemilihan (parataksis) ke poros kombinasi (sintaksis).
Antara bunyi, pemilihan kata, frase, kalimat, ide, dan temanya diekuivalensikan
dan disusun dalam sebuah struktur yang kompak.
Dalam puisi tersebut terjadi ketragisan
oleh pertentangan antara keadaan yang baik dengan kecemasan akan kegagalan,
antara lajunya usaha dan panggilan maut, serta antara usaha yang menguras
tenaga bertahun-tahun dengan peralatan yang menjadi habis (perahu merapuh) dan
maut yang menjemput sebelum berhasil, semua itu dipaparkan dengan paradoks dan
antitesis antara baris ke-1, 2 dengan baris ke-3, 4 dalam tiap-tiap bait.
Pertentangan itu secara formal ditandai dengan sajak akhir yang berbeda,
baris-baris yang bersajak akhir sama menyatukan isi pikiran yang sama yang
dipertentangkan dengan kelompok lainnya. Bait ke-2, baris ke-1,2: memancar – si
pacar dipertentangkan dengan baris ke-3, 4: terasa – padanya. Bait ke-3, baris
ke-1, 2: mendayu – melaju dipertentangkan dengan baris ke-3,4: berkata – saja;
Bait ke-4, baris ke-1, 2 kutempuh – merapuh dipertentangkan dengan baris ke-3,
4: dulu – cintaku. Dengan demikian, keteragisan itu kian mencekam dari bait ke
bait yang mengklimaks pada bait keempat, sedangkan bait kelima merupakan anti
klimaks yang membuat orang lebih berkontemplasi akan kegagalan yang tragis,
yang membuat putus asa.
Hubungan antara bait yang satu dengan
lainnya sangat kompak menjalin struktur yang bermakna. Bait pertama, memberi
gambaran bahwa cita-cita itu begitu menariknya, dikiaskan dengan gambaran bahwa
cita-cita itu begitu menariknya, dikiaskan dengan gambaran “gadis manis”, namun
masih belum menjadi kenyataan, dikiaskan berada di sebuah pulau yang jauh. Bait
kedua menggambarkan usaha si aku dengan naik perahu di laut yang terang dan
bulan yang terang penuh romantik, namun si aku merasa tak akan dapat mencapai
cita-cita yang menggairahkan itu. Ini diperjelas dengan bait ketiga yang
menggambarkan bahwa segala jalan sudah lurus lancar, namun terasa maut
memanggil. Ini diperkuat lagi dengan bait keempat yang menggambarkan kegagalan
si aku yang erasa pasti tidak dapat mencapai gadisnya yang diidamkan-idamkan
karena maut telah menjemput lebih dahulu. Bait kelima menggambarkan keputusan
si aku yang cita-citanya tebengkelai dan sia-sia saja. Dengan
keeratan hubungan antara bait-baitnya itu, ketrgisan hidup si aku (manusia) itu
begitu jelas dan mengerikan.Tiap-tiap bait hanya bermakna dalam hubungannya
dengan yang lain dan keseluruhannya.Tidak ada bait satu pun yang dapat dicopot
atau dihilangkan atau di balikan. Semua menyatakan bahwa sejak tersebut
koherensinya sangat erat.
[1] http://telagamimpi.blogspot.co.id/2013/03/teori-strukturalisme.html.
[2] Kamil
Sukron, Teori Kritik Sastra Arab Klasik & Modern, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2012, hal 184.
[3] http://elfaputri.blogspot.co.id/2010/11/strukturalisme.html.
[4] http://elfaputri.blogspot.co.id/2010/11/strukturalisme.html.
Strukturalisme Dalam Puisi Arab
Reviewed by Unknown
on
Rabu, Desember 28, 2016
Rating:
Tidak ada komentar:
Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada